HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE DAN KINERJA PERUSAHAAN
Oleh
Deni Darmawati
Khomsiyah
Rika Gelar Rahayu
The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG)
Abstracts
This study examines the relationship between corporate governance and corporate performance. This study employs a multiple regression to test the hypothesis that corporate governance and corporate performance are positively related. The rating of corporate governance perception index (CGPI) for 2001 and 2002 by the Indonesian Institute for Corporate Governance is used to measure the corporate governance implementation, and Tobin’s q as a market performance measurement (Klapper dan Love, 2002; Black dkk. 2003) and return on equity (ROE) as operasional performance measurement (Klapper dan Love, 2002). The analysis shows that there is no significant relationship between corporate governance index and Tobin’s q. But, there is a significant positive relationship between corporate governance index and return on equity. It means that corporate governance implementation affect the operational performance, but market does not respond the implementation of corporate governance immediately.
Keywords: corporate governance, performance, tobin’s q and return on equity..
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Lemahnya corporate governance sering disebut sebagai salah satu penyebab krisis keuangan di negara-negara di Asia (lihat, misal, Johnson dkk., 2000 dan Mitton, 2002). Johnson dkk. (2000) dalam penelitiannya, telah menunjukkan bahwa variabel corporate governance yang diterapkan dalam suatu negara lebih mampu menjelaskan luasnya depresiasi mata uang dan menurunnya kinerja pasar modal di negara-negara berkembang dibandingkan variabel-variabel makroekonomika, pada periode krisis. Ciri utama dari lemahnya corporate governance adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri di pihak para manajer perusahaan. Jika para manajer perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan investor, maka akan menyebabkan jatuhnya harapan para investor tentang pengembalian (return) atas investasi yang telah mereka tanamkan. Dengan demikian, secara agregat, hal tersebut akan mengakibatkan aliran masuk modal (capital inflows) ke suatu negara mengalami penurunan sedangkan aliran keluar (capital outflows) dari suatu negara mengalami kenaikan. Akibat selanjutnya adalah menurunnya harga-harga saham di negara tersebut, sehingga pasar modalnya menjadi tidak berkembang dan menurunnya nilai pertukaran mata uang negara tersebut.
Pada saat ini, pembahasan tentang proteksi investor merupakan hal yang sangat krusial. La Porta dkk. (2000) telah membuktikan bahwa di beberapa negara, ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer dan para pemegang saham pengendali (controlling shareholders) terhadap para pemegang saham minoritas dan para kreditor sangat besar. Pada saat para investor mendanai perusahaan, mereka menghadapi risiko dan kadang-kadang besar kemungkinannya bahwa return atas investasi yang mereka tanamkan tidak pernah material, karena para manajer dan pemegang saham pengendali melakukan ekspropriasi terhadap mereka.
Corporate governance merupakan serangkaian mekanisme yang dapat melindungi pihak-pihak minoritas (outside investors/minority shareholders) dari ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham pengendali (insider) dengan penekanan pada mekanisme legal (Shleiver dan Vishny, 1997). Pendekatan legal dari corporate governance memiliki arti bahwa mekanisme kunci dari corporate governance adalah proteksi investor eksternal (outside investors), baik pemegang saham maupun kreditor, melalui sistem legal, yang dapat diartikan dengan hukum dan pelaksanaannya. Meskipun reputasi dan gagasan-gagasan yang dimiliki oleh para manajer dapat membantu dalam meraih dana, variasi dalam hukum dan pelaksanaannya merupakan hal utama dalam memahami mengapa perusahaan-perusahaan dalam beberapa negara lebih mudah mendapatkan dana dibanding perusahaan-perusahaan yang lainnya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penerapan corporate governance bervariasi antar satu negara dengan negara yang lain. Penelitian-penelitian tersebut pada dasarnya menunjukkan adanya perbedaan sistem hukum yang melindungi investor antar negara (lihat, misal, La Porta dkk., 2000). Perbedaan dalam sistem hukum tersebut selanjutnya akan berpengaruh pada struktur kepemilikan, perkembangan pasar modal, dan perekonomian suatu negara (lihat, misal, review artikel, La Porta dkk., 2000).
Adanya konsekuensi ekonomis dari variasi penerapan corporate governance di tingkat negara menimbulkan berbagai pertanyaan baru di kalangan para pakar di bidang ekonomi. Besar kemungkinan bahwa tidak semua perusahaan dalam negara yang sama menawarkan proteksi dengan tingkat yang sama kepada para investornya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut: Apakah perbedaan proteksi investor antar perusahaan dalam negara yang sama memiliki arti? dapatkah suatu perusahaan yang berada dalam suatu negara yang lemah lingkungan hukumnya membedakan dirinya dan memberikan proteksi yang lebih pada para investornya dengan mengadopsi praktek-praktek good corporate governance dan apakah adopsi praktik-praktik good corporate governance memiliki arti lebih di dalam negara yang secara keseluruhan memiliki sistem hukum dang baik atau buruk? (Klapper and Love, 2002; Black dkk., 2003).
Jika corporate governance merupakan faktor yang signifikan pada kondisi krisis, maka corporate governance tidak hanya mampu menjelaskan perbedaan kinerja antar negara selama periode krisis, akan tetapi juga perbedaan kinerja antar perusahaan dalam suatu negara tertentu. Penelitian tentang variasi penerapan corporate governance di tingkat perusahaan masih sangat sedikit dilakukan. Penelitian dampak penerapan corporate governance pada kinerja sangat menarik untuk dilakukan pada periode krisis. Coporate governance menjadi sesuatu yang lebih penting dalam kondisi krisis keuangan karena dua alasan (Mitton, 2002). Pertama, ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas menjadi lebih parah pada periode krisis. Johnson (2000) berpendapat bahwa krisis dapat mendorong para manajer untuk lebih melakukan ekspropriasi pada saat return atas investasi yang diharapkan semakin menurun. Alasan kedua, krisis dapat mendorong para investor untuk lebih memperhatikan pentingnya keberadaan corporate governance. Rajan dan Zingales (1998) seperti dikutip oleh Mitton (2002) menyatakan bahwa para investor mengabaikan kelemahan dari perusahaan-perusahaan di Asia Timur (East Asian) pada saat negara-negara tersebut pada kondisi perekonomian yang baik, akan tetapi secara cepat menarik investasi mereka pada saat krisis dimulai, karena para investor percaya bahwa negara tersebut tidak memiliki proteksi institusional yang memadai terhadap investasi yang mereka tanamkan. Dengan adanya dua lasan tersebut, perusahaan dengan corporate governance yang kurang baik dapat kehilangan nilai relatif lebih besar pada saat kondisi krisis.
Beberapa penelitian tentang corporate governance di tingkat perusahaan sebagian besar dilakukan di Amerika dan di perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) (lihat, misal, survei yang dilakukan oleh Shleifer dan Vishny, 1997). Penelitian yang dilakukan di negara yang sedang berkembang masih sangat sedikit dilakukan. Black (2001) berargumen bahwa pengaruh praktik corporate governance terhadap nilai perusahaan akan lebih kuat di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal tersebut dikarenakan oleh lebih bervariasinya praktik corporate governance di negara berkembang dibandingkan negara maju. Durnev dan Kim (2002) memberikan bukti bahwa praktik corporate governance lebih bervariasi di negara yang memiliki lingkungan hukum yang lebih lemah.
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi keterkaitan corporate governance yang diterapkan dalam suatu perusahaan dengan kinerja perusahaan yang bersangkutan. Menurut Berghe dan Ridder (1999), menghubungkan kinerja perusahaan dengan good governance tidak mudah dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada hubungan corporate governance dengan kinerja perusahaan, misalnya penelitian Daily dkk. (1998) dan hasil survey CBI, Deloitte dan Touche (1996) sebagaimana yang dikutip oleh Kakabadse dkk, (2001). Demikian juga dengan Young (2003) yang menganalisis beberapa penelitian yang menghubungkan corporate governance dengan kinerja perusahaan. Di lain pihak, berdasarkan beberapa hasil penelitian, Berghe dan Ridder menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai poor performance disebabkan oleh poor governance. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Gompers dkk. (2003) yang menemukan hubungan positif antara indeks corporate governance dengan kinerja perusahaan jangka panjang.
Menurut Kakabadse dkk, (2001) perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) perspektif teoritis yang diterapkan, 2) metodologi penelitian, 3) pengukuran kinerja, dan 4) perbedaan pandangan atas keterlibatan dewan dalam pengambilan keputusan. Walaupun penelitian-penelitian tentang hubungan corporate governance dengan kinerja perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda, namun semuanya menyatakan bahwa corporate governance mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap kinerja perusahaan.
Penelitian ini bertujuan menguji kembali penelitian-penelitian sebelumnya dan berbeda dalam hal pengukuran variabel corporate governance yang telah disesuaikan dengan kondisi lingkungan bisnis di Indonesia (menggunakan ukuran yang dikembangkan oleh Indonesian Institute of Corporate Governance).
Penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi bagi pihak regulator dalam hal menambah pemahaman tentang penyebab krisis dan keterkaitan corporate governance dengan kejadian-kejadian makroekonomika. Bagi praktisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bahwa individual perusahaan, bukan hanya di tingkat negara, memiliki kontrol dalam tingkat proteksi yang ditawarkan kepada pemegang saham minoritasnya. Dengan adanya berbagai pemeringkatan perusahaan berdasarkan corporate governance yang diterapkan, yang dikeluarkan oleh beberapa institusi independen, penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan keyakinan akan kegunaan hasil pemeringkatan tersebut untuk dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan.
Artikel ini terdiri dari beberapa bagian. Setelah pendahuluan, bahasan teori dan pengembangan hipotesis dibahas pada bagian kedua. Pada bagian ketiga dibahas tentang sampel dan pengumpulan data, variabel yang digunakan dan pengukurannya. Hasil penelitian dan diskusi akan disajikan pada bagian keempat. Bagian terakhir artikel ini menjelaskan tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian dan diikuti dengan implikasi untuk penelitian selanjutnya.
KAJIAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Corporate Governance dan Perspektif Keagenan
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara principal dan agen (dikembangkan oleh Coase, 1937; Jensen and Meckling, 1976; dan Fama and Jensen, 1983). Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahaan antara kepemilikan (di pihak principal/investor) dan pengendalian (di pihak agent/manajer). Investor memiliki harapan bahwa manajer akan menghasilkan returns dari uang yang mereka investasikan. Oleh karena itu, kontrak yang baik antara investor dan manajer adalah kontrak yang mampu menjelaskan spesifikasi-spesifikasi apa sajakah yang harus dilakukan manajer dalam mengelola dana para investor, dan spesifikasi tentang pembagian return antara manajer dengan investor. Secara ideal, investor dan manajer sebaiknya menandatangani kontrak yang lengkap/komplit, yang menspesifikasikan secara tepat apa saja yang akan dilakukan oleh manajer di segala kemungkinan yang terjadi, dan bagaimana laba perusahaan akan dialokasikan. Namun demikian, sebagian besar faktor-faktor kontinjensi sulit untuk dilihat/diramal sebelumnya, sehingga kontrak yang lengkap sulit untuk diwujudkan. Dengan demikian, investor diharuskan untuk memberikan hak pengendalian residual (residual control right) kepada manajer, yaitu hak untuk membuat keputusan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya belum terlihat dikontrak.
Hak pengendalian residual yang dimiliki oleh manajer memungkinkan untuk diselewengkan dan akan menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka tanamkan tidak dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki hak untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola dana investor. Kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya adalah bahwa manajer dapat melakukan ekspropriasi dana investor.
Ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer dapat dilakukan dengan berbagai cara/bentuk, mulai dari penggelapan dana investor, menjual produk perusahaan kepada perusahaan yang dimiliki oleh manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar, hingga menjual aset perusahaan lainnya ke perusahaan yang dimiliki oleh manajer. Bahkan, yang paling parah, ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer bisa berupa mempertahankan jabatan/posisi pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak berkompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya (Shleifer dan Vishny, 1989). Jensen dan Ruback (1983) berargumen bahwa manajer yang tidak berkualitas yang bertahan untuk bisa digantikan merupakan perujudan dari masalah keagenan yang paling mahal.
Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenanan yang terjadi jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent), yang melakukan pekerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989). Pertama, adalah masalah keagenan yang timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, adalah masalah pembagian risiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda yang dikarenakan adanya perbedaan preferensi terhadap risiko.
Oleh karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi (Eisenhardt, 1989). Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan.
Konflik kepentingan yang dikarenakan oleh kemungkinan bahwa agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan. Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan ada tiga jenis biaya keagenan. Prinsipal dapat membatasi divergensi dari kepentingannya dengan menetapkan insentif yang layak dan dengan mengeluarkan biaya monitoring (monitoring cost) yang dirancang untuk membatasi aktivitas-aktivitas yang menyimpang yang dilakukan oleh agen. Dalam beberapa situasi tertentu, agen memungkinkan untuk membelanjakan sumber daya perusahaan (biaya bonding/bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika dia benar-benar melakukan tindakan tersebut. Namun demikian, masih bisa terjadi divergensi antara keputusan-keputusan agen dengan keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan agen. Nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami oleh prinsipal juga merupakan biaya yang timbul dari hubungan keagenan. Biaya sejenis ini disebut kerugian residual (residual loss).
Jensen dan Meckling (1976) juga menunjukkan adanya tiga unsur tambahan yang dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen. Unsur-unsur tersebut adalah bekerjanya pasar tenaga manajerial, bekerjanya pasar modal dan unsur bekerjanya pasar bagi keinginan menguasai dan memiliki/mendominasi kepemilikan perusahaan (market for corporate control).
Agen bisa tidak bermasa depan bila kinerjanya buruk sehingga diberhentikan oleh pemegang saham. Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus kesempatan pengelola yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari keinginan pemegang saham perusahaan yang dikelolanya. Bekerjanya pasar modal secara efisien bisa menjadi cermin kinerja manajer dari harga saham perusahaannya. Bekerjanya market for corporate control bisa menghambat tindakan menguntungkan diri pengelola sendiri dalam hal menghentikan pengelola dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya mempunyai kinerja rendah yang memungkinkan pemegang saham baru menggantinya dengan pengelola lain setelah perusahaan diambil alih.
Berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan,diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak mengutungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengkontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).
Corporate governance merupakan suatu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara menejemen perusahaan, dewan direksinya (dewan direksi dan komisasris, untuk negara-negara yang menganut sistem hukum two-tier, termasuk Indonesia), para pemegang sahamnya dan stakeholders lainnya (OECD, 1999). Corporate governance juga memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran (objectives) dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut dan sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja. Good corporate governance harus memberikan insentif yang tepat untuk dewan direksi dan menejemen dalam rangka mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan dari sisi kepentingan perusahaan dan para pemegang saham dan juga harus dapat memfasilitasi monitoring yang efektif, sehingga mendorong perusahaan untuk menggunakan sumberdaya secara efisien (OECD, 1999).
Isu tentang corporate governance mulai hangat dibicarakan sejak terjadinya berbagai skandal yang mengindikasikan lemahnya corporate governance di perusahaan-perusahaan Inggris pada sekitar tahun 1950an, seperti manipulasi dana pensiun Maxwell, skandal Rolls Royce dan lain-lainnya. Skandal-skandal tersebut dilanjutkan dengan banyaknya pengambilalihan usaha (takeover) dan insider trading yang terjadi di tahun 1970an dan selanjutnya menimbulkan resesi di tahun 1980an (Davies, 1999; hal. 34-35).
Berkaitan dengan berbagai skandal bisnis tersebut, dibentuklah The Cadbury Committee pada bulan Mei 1991 yang bertugas untuk membuat Code of Best Practice yang berkaitan dengan pelaporan keuangan dan akuntabilitas. Komite-komite corporate governance selanjutnya yang dibentuk di negara Inggris adalah The Greenbury Committee, yang lebih menekankan pada remunerasi direksi, dan The Hampel Committee, yang menekankan pada proteksi Investor (Davies, 1999, hal. 38-44).
Sejalan dengan perkembangan isu corporate governance di negara Inggris, di berbagai negara maju lainnya seperti Amerika, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia, Italia, dan Australia juga mulai marak di diskusikan. Seperti pengalaman di Inggris, isu tentang corporate governance marak diperbincangkan berkaitan dengan adanya berbagai macam skandal bisnis di negara-negara tersebut.
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Penerapan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan.
Johnson dkk. (2000) memberikan bukti bahwa rendahnya kualitas corporate governance dalam suatu negara berdampak negatif pada pasar saham dan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan pada masa krisis di Asia. Johnson dkk. mendefinisikan corporate governance sebagai efektivitas mekanisme yang bertujuan meminimisasi konflik keagenan, dengan penekanan khusus pada mekanisme legal yang mencegah dilakukannya ekspropriasi atas pemegang saham minoritas. Penjelasan teoritis yang mendasari penelitian Johnson dkk. adalah bahwa jika ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer meningkat pada saat tingkat kembalian investasi yang diharapkan oleh investor jatuh, maka shock yang diakibatkan dari menurunya tingkat kepercayaan investor akan mendorong terjadinya penurunan capital inflow dan meningkatnya capital outflows dari suatu negara. Akibat selanjutnya adalah menurunnya harga saham dan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan.Penelitian Johnson dkk. dilakukan dengan menggunakan sampel penelitian sebanyak 25 negara yang sedang berkembang pasar modalnya (emerging market), termasuk Indonesia diantaranya, dan menggunakan alat analisis regresi. Variabel corporate governance diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh La Porta dkk. (1998), yang terdiri dari judicial efficiency, corruption, rule of law, enforceable minority shareholder rights, antidirector rights, creditors rights, dan accounting standars. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel corporate governance lebih bisa menjelaskan variasi dari perubahan nilai tukar mata uang dan kinerja pasar modal, dibandingkan dengan variabel-variabel ekonomikamakro.
Dengan menggunakan sampel sebanyak 49 negara, La Porta (1997) menunjukkan bahwa negara-negara yang melakukan proteksi terhadap para pemegang saham, yang diukur dengan caracter of legal rules and the quality of law enforcement, memiliki pasar modal yang lebih berkembang, lebih besar listed securities per capita, dan rate of IPO activity yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang kurang baik melakukan proteksi terhadap para pemegang saham. Penemuan mereka menunjukkan hasil yang sejalan, baik untuk equity maupun debt market. Negara-negara yang lebih baik dalam melakukan proteksi pada para kreditor memiliki credit market yang lebih besar.
Melalui pengaruhnya terhadap perkembangan pasar modal, proteksi investor dapat mempengaruhi perekonomian riil. Menurut Beck dkk. (2000), perkembangan dalam bidang keuangan dari suatu negara dapat mempercepat pertumbuhan dengan tiga cara. Pertama, meningkatkan tabungan (savings). Kedua, menanamkan tabungan tersebut ke dalam investasi riil, sehingga bisa mempercepat akumulasi kapital. Ketiga, dengan luasnya pengendalian keputusan-keputusan investasi yang dimiliki oleh pihak-pihak institusi keuangan, maka perkembangan dalam bidang keuangan tersebut akan mendorong aliran modal ke arah penggunaan yang lebih produktif, sehingga bisa meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya. Ketiga hal tersebut akan mempunyai dampak besar terhadap pertumbuhan perekonomian dalam suatu negara.
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan perkembangan di bidang keuangan dengan pertumbuhan ekonomi. King dan Levine (1993) seperti dikutip La Porta dkk. (2000) menunjukkan bahwa negara yang memiliki pasar modal yang besar memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di masa datang. Penelitian yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Maksimovic (1998); Levine dan Zervos (1998); Rajan dan Zingales (1998); dan Carlin dan Mayer (1999) menunjukkan hasil yang konsisten, dengan membuktikan adanya dampak pengembangan di bidang keuangan terhadap pertumbuhan suatu negara (lihat La Porta dkk., 2000).
Sejalan dengan penelitian-penelitian di atas, seperti yang disitir dalam Black dkk. (2003), Modigliani dan Perotti (2000) menemukan bahwa besarnya premium dari high-voting shares (menunjukkan lemahnya perlindungan pada investor minoritas) dan tingkat korupsi mengakibatkan tidak berkembangnya pasar saham. Levine (1998, 1999) menemukan bahwa kualitas pengungkapan akuntansi mempengaruhi ukuran pasar saham.
Sebagian besar penelitian tentang variasi corporate governance di tingkat perusahaan dilakukan di Amerika dan negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) (lihat, misal, survei yang dilakukan oleh Shleifer dan Vishny, 1997). Penelitian yang dilakukan di negara yang sedang berkembang masih sangat sedikit dilakukan. Black (2001) berargumen bahwa pengaruh praktik corporate governance terhadap nilai perusahaan akan lebih kuat di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal tersebut dikarenakan oleh lebih bervariasinya praktik corporate governance di negara berkembang dibandingkan negara maju. Durnev dan Kim (2002) memberikan bukti bahwa praktik corporate governance lebih bervariasi di negara yang memiliki lingkungan hukum yang lebih lemah.
Black dkk. (2003) memberikan bukti bahwa corporate governance merupakan faktor penting dalam menjelaskan nilai perusahaan-perusahaan publik di Korea. Penelitian mereka menggunakan sampel sebanyak 526 perusahaan. Analisis dilakukan dengan menggunakan OLS, 2SLS, dan 3SLS. Hasil analisis dengan menggunakan 2SLS dan 3SLS menujukkan bahwa besarnya koefisien variabel corporate governance adalah tiga kali dan lebih signifikan dibandingkan dengan menggunakan OLS.
Klapper dan Love (2002) menemukan adanya hubungan positif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diukur dengan return on assets (ROA) dan Tobin’s Q. Penemuan penting lainnya dari penelitian mereka adalah bahwa penerapan corporate governance di tingkat perusahaan lebih memiliki arti dalam negara berkembang dibandingkan dalam negara maju. Hal tersebut menujukkan bahwa perusahaan yang menerapkan corporate governance yang baik akan memperoleh manfaat yang lebih besar di negara-negara yang lingkungan hukumnya buruk.
Mitton (2000) menujukkan bahwa variabel-variabel yang berkaitan dengan corporate governance mempunyai dampak yang kuat terhadap kinerja perusahaan selam periode krisis di Asia Timur (tahun 1997 sampai dengan tahun 1998). Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 398 perusahaan yang berada di Indonesia, Korea, Malaysia, Pilipina, dan Tailand. Perusahaan dengan kualitas pengungkapan yang lebih baik, kepemilikan pihak eksternal yang lebih terkonsentrasi, dan perusahaan yang lebih terfokus (dibandingkan dengan yang terdiversifikasi) memiliki kinerja pasar yang lebih baik.
Beberapa penelitian lain lebih menitik beratkan pada salah satu komponen dari corporate governance. Shivdasani (1993) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji apakah perbedaan dalam struktur dewan direksi (dewan direksi dan komisaris untuk Indonesia) dan kepemilikan ekuitas memiliki kontribusi terhadap kemungkinan perusahaan untuk diakuisisi (hostile takeover). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik dewan direksi dan struktur kepemilikan merupakan determinan yang signifikan terhadap kemungkinan suatu perusahaan menjadi sasaran target akuisisi. Bukti penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen dari perusahaan target lebih terbatas untuk secara aktif memonitor perilaku manajemen dibandingkan yang terjadi di perusahaan non target.
Dengan melakukan meta-analisis, Dalton dkk.(1999) menemukan adanya hubungan sistematik antara ukuran dewan direksi dan kinerja perusahaan. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 20.620 perusahaan dari sampel sebanyak 131 penelitian. Dalton dkk juga melakukan analisis dengan menggunakan variabel mederasi ukuran perusahaan dan komposisi dewan direksi (mengukur independensi dari dewan). Hasil penelitian menujukkan bahwa hubungan antara ukuran dewan direksi dengan kinerja perusahaan lebih kuat untuk perusahaan-perusahaan kecil. Namun demikian, penelitian mereka tidak berhasil menemukan bahwa komposisi dewan direksi sebagai variabel pemoderasi hubungan antara ukuran dewan direksi dengan kinerja perusahaan. Dalton dkk., juga menujukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil antara dua jenis ukuran kinerja, yaitu ukuran kinerja yang berbasis akuntansi dan ukuran kinerja yang berbasis pasar.
Hipotesis penelitian ini bisa dinyatakan dalam bentuk hipotesis alternatif sebagai berikut:
“Terdapat hubungan positif antara penerapan corporate governance dengan kinerja perusahaan.”
Berdasarkan telaah literatur di atas, maka bisa dibuat suatu rerangka teoritis yang dapat digambarkan dalam bentuk diagram skematik sebagai berikut:
Variabel DependenKinerja | |||
METODOLOGI PENELITIAN
Sampel dan Data.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2001 dan 2002, yang masuk dalam pemeringkatan penerapan corporate governance yang dilakukan oleh The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) di tahun 2001 dan 2002. Dengan demikian, penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda purposive sampling. Pemilihan sampel tersebut berkaitan dengan data corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh oleh IICG di tahun 2001 dan 2002.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 53 perusahaan/tahun (pooled data untuk tahun 2001 dan 2002). Sampel untuk tahun 2001 sebanyak 21 perusahan dan untuk tahun 2002 sebanyak 32 perusahaan.
Data implementasi corporate governance menggunakan hasil survei IICG tahun 2001 dan 2002 yang berupa Corporate Governance Perception Index (CGPI). Sedangka data lainnya yaitu data pasar dan keuangan diperoleh dari Indonesian Capital Market Directory 2003.
Variabel
Variabel dependen penelitian ini adalah kinerja perusahaan. Dalam penelitian ini kinerja perusahaan diukur dengan menggunakan Tobin’s q sebagai ukuran penilaian pasar (Klapper dan Love, 2002; Black dkk. 2003) dan return on equity (ROE) sebagai ukuran kinerja operasional perusahaan (Klapper dan Love, 2002).
Tobin’s q dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Chung dan Pruitt, 1994, yaitu:
Tobin’s q = (MVE + PS + DEBT)/TA,
dengan,
MVE: harga penutupan saham di akhir tahun buku x banyaknya saham biasa yang beredar.
PS: nilai likuidasi dari saham preferen yang beredar.
DEBT: (utang lancar-aktiva lancar) + nilai buku sediaan + utang jangka panjang.
TA: nilai buku total aktiva.
Peneliti menyesuaikan rumus tersebut dengan kondisi transaksi keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dengan demikian, rumus yang digunakan untuk mengukur Tobin’s q menggunakan rumus sebagai berikut (Klapper dan Love, 2002; Black dkk. 2003):
Tobin’s q = (MVE + DEBT)/TA
ROE dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
ROE = Laba bersih /Total Equity
Variabel independen
Variabel independen penelitian ini adalah corporate governance. Variabel ini diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh IICG (2001, 2002). Pada tahun 2001 dan 2002 IICG mengadakan survei tentang penerapan corporate governance pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Berdasarkan hasil survei, maka diperoleh Corporate Governance Perception Index (CGPI). CGPI merupakan gabungan dari tujuh komponen yang diberi bobot. Tujuh komponen tersebut adalah: 1) komitmen terhadap corporate governance, 2) hak pemegang saham, 3) tata kelola dewan komisaris, 4) komite-komite fungsional (yang membantu tata kelola dewan komisaris), 5) direksi, 6) transparansi, dan 7) hubungan dengan stakeholders.
Variabel kontrol
Variabel corporate governance memiliki kemungkinan untuk secara endogen ditentukan oleh berbagai faktor. Dengan mengakui sifat endogenitas dari variabel corporate governance, kita hanya dapat menginterpretasikan hasil penelitian sebagai suatu hubungan yang parsial. Di bawah ini merupakan berbagai variabel yang secara teori menentukan penerapan corporate governance di perusahaan.
- Komposisi aktiva perusahaan. Perusahaan yang memiliki aktiva tak berujud dan aktiva lancar yang besar cenderung untuk menerapkan corporate governance yang lebih ketat. Hal ini dikarenakan aktiva lancar dan aktiva tak berujud lebih mudah diselewengkan dibandingkan dengan aktiva tetap berujud. Hal ini dikarenakan bahwa aktiva berujud mudah dimonitor dan sulit untuk dicuri. Dengan demikian, korelasi antara proporsi aktiva tetap dengan corporate governance akan negatif (Klapper dan Love, 2002; Himmelberg dkk., 1999; Himmelberg, Hubbard dan Love 2001). Hubungan ini sangat penting untuk diperhatikan pada saat kita mengestimasi hubungan antara corporate governance dengan kinerja, karena besarnya proporsi aktiva tidak berujud dan aktiva tetap bisa menyebabkan tingginya nilai Tobin’s Q (nilai pasar aktiva tidak berujud biasanya lebih tinggi dari nilai bukunya). Sejalan dengan hal tersebut, kinerja operasional juga akan lebih tinggi karena penyebut yang digunakan untuk menghitung kinerja operasional (misalnya, total aktiva) tidak sepenuhnya memasukkan aktiva tak berujud. Penelitian ini memasukkan komposisi aktiva sebagai variabel kontrol untuk memastikan bahwa hubungan corporate governance dengan kinerja tidak disebabkan oleh heterogenitas komposisi aktiva. Komposisi aktiva diukur dengan menggunakan rasio antara aktiva tetap terhadap total penjualan (Klapper dan Love, 2002).
- Kesempatan pertumbuhan (growth opportunity). Perusahaan yang memiliki kesempatan tumbuh yang tinggi pada umumnya membutuhkan dana eksternal untuk melakukan ekspansi, sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan perbaikan dalam penerapan corporate governance dalam rangka untuk menurunkan biaya modal (La Porta dkk., 1999; Klapper dan Love, 2002; Himmelberg dkk., 1999; Himmelberg, Hubbard dan Love 2001). Jika nilai Tobin’s Q lebih tinggi untuk perusahaan yang memiliki kesempatan tumbuh tinggi, hal ini bisa disebabkan adanya endogenitas pada variabel corporate governance dalam asosiasi antara corporate governance dengan kinerja. Dengan demikian, penelitian ini memasukkan variabel kesempatan pertumbuhan sebagai variabel kontrol. Kesempatan pertumbuhan diukur dengan menggunakan rata-rata pertumbuhan penjualan selama tiga tahun terakhir (Klapper dan Love. 2002).
- Ukuran perusahaan. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap corporate governance masih belum jelas arahnya. Perusahaan besar dapat meiliki masalah keagenan yang lebih besar (karena lebih sulit untuk dimonitor) sehingga membutukan corporate governance yang lebih baik. Di sisi lain, perusahaan kecil bisa memiliki kesempatan bertumbuh yang tinggi, sehingga membutuhkan dana eksternal, dan seperti argumen di atas, membutuhkan mekanisme corporate governance yang lebih baik. Dengan demikian, penelitian ini memasukkan variabel ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan log natural dari penjualan (Klapper dan Love, 2002).
Metoda Analisis Data.
Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi perganda dengan persamaan sebagai berikut:
Kinerjai = bo+b1CGi+b2 Komposisi aktivai+b3 Kesempatan tumbuhi+b4Ukuran perusahaani+e
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Statistik Deskriptif
Analis pertama yang dilakuakan adalah dengan menganalisis data dengan menggunakan statistik deskriptif. Rata-rata return on equity sebesar 4,9502 dan deviasi standar sebesar 46,6515. Sedangkan variabel dependen Tobin’s q memiliki rata-rata sebesar 1,2009 dan standar deviasi sebesar 0,6848. Variabel indipenden indeks persepsi corporate governance memiliki rata-rata sebesar 69,7363 dengan standar deviasi sebesar 11,2550. Variabel kontrol komposisi aktiva memiliki rata-rata sebesar 0,4976 dan standar deviasi sebesar 0,6131. Variabel kesempatan tumbuh memiliki rata-rata 583.870,39 dan deviasi standar sebesar 1.496.128, 8855. Variabel ukuran perusahaan memiliki rata-rata sebesar 14, 2670 dan standar deviasi sebesar 1,6463.
Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif dapat kita lihat bahwa penerapan corporate governance pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, yang diwakili oleh sampel penelitian ini masih belum begitu bagus. Dengan rata-rata nilai skor kurang lebih 60 pada skala 100, maka nilai tersebut bisa dikatakan baru memenuhi kriteria mencukupi. Statistik deskriptif dari data penelitian ini dinyatakan dalam tabel 1.
Tabel 1.
Uji Asumsi Klasik
Penggunaan alat statistik regresi berganda mensyaratkan dilakukannya pengujian asumsi klasik. Jika asumsi klasik tidak terpenuhi akan menyebabkan bias pada hasil penelitian. Asumsi klasik yang perlu diuji adalah multikolinier, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.
Hasil Uji Multikolinier
Uji multikolinieritas dilakukan dengan menghitung nilai variance inflation factor (VIF) dari tiap-tiap variabel independen. Nilai VIF kurang dari 10 menunjukkan bahwa, korelasi antar variabel independen masih bisa ditolerir (Gujarati, 1995). Berdasarkan hasil analisis, tidak ada variabel independen dalam penelitian ini yang memiliki nilai variance inflation factor (VIF) lebih dari sepuluh. Dengan demikian, hasil analisis menujukkan tidak adanya masalah multikolinier. Variabel indeks persepsi corporate governance memiliki nilai VIF sebesar 1,224. Variabel komposisi aktiva memiliki nilai VIF sebesar 1,075. Variabel kesempatan tumbuh memiliki nilai VIF sebesar 1,306. Variabel ukuran perusahaan memiliki nilai VIF sebesar 1,497.
Nilai VIF dari tiap-tiap variabel bisa dilihat di tabel 2.
Tabel 2
Hasil Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan dengan menghitung nilai Durbin-Watson d statistic. Korelasi serial dalam residual tidak terjadi jika nilai d berada di antara nilai batas dU dan 4 – dU. Dengan variabel sebanyak 4 buah dan sampel sebesar 22, nilai dL sebesar1,378 dan nilai dU sebesar 1,721. Dengan demikian, dalam penelitian ini, nilai d harus berada diantara 1,721 dan 2,279, agar tidak mengalami masalah autokorelasi. Hasil analisis menunjukkan nilai d sebesar 1,611 untuk model regresi dengan variabel dependen return on equity dan nilai d sebesar 2,022 untuk model regresi dengan variabel dependen Tobin’s q. Nilai d sebesar 1,611 berada pada daerah tanpa keputusan , yaitu terletak diantara dL dan dU. Dengan demikian, untuk model regresi dengan return on equity sebagai variabel dependen, tidak dapat dinyatakan apakah model regresi tersebut mengalami otokorelasi atau tidak. Namun demikian, peneliti tetap melanjutkan analisis selanjutnya, yaitu pengujian hipotesisi. Untuk model regresi dengan menggunakan variabel dependen Tobin’s q tidak mengalami masalah otokorelasi.
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Uji heroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Dengan menggunakan uji Glejser, nilai absolut residual diregresikan pada tiap-tiap variabel independen. Masalah heteroskedastisitas terjadi jika ada variabel yang secara statistik signifikan. Model regresi dengan variabel dependen return on equity, variabel indeks persepsi corporate governance mengalami masalah heteroskedastisitas, sedangkan variabel-variabel kontrol tidak mengalami masalah heteroskedastisitas. Model regresi dengan menggunakan variabel dependen Tobin’s q, tidak ada satupun variabel independen yang mengalami heteroskedastisitas. Hasil uji heteroskedastisitas model regresi dengan menggunakan variabel dependen Tobin’s q Hasil uji heteroskedastisitas disajikan pada tabel 3.
Tabel 3
Oleh karena model regresi dengan return on equity sebagai variabel dependen mengalami masalah heteroskedastisitas, maka masing-masing variabel harus dideflasikan dengan CGPI, karena variabel yang mengalami masalah heteroskedastisitas adalah variabel indeks persepsi corporate governance (Gujarati, 1995). Model regresi yang akan diuji secara statistik akan disajikan pada sub bab uji hipotesis.
Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan dua model regresi. Model regresi pertama menggunakan return on equity sebagai ukuran kinerja (variabel dependen), sedangkan model regresi kedua menggunakan Tobin’q sebagai ukuran kinerja. Hasil pengujian pertama menunjukkan bahwa, hanya variabel corporate governance yang secara statistik signifikan mempengaruhi return on equity. Sedangkan tidak ada satupun variabel kontrol yang secara statistik signifikan mempengaruhi return on equity. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian didukung, yaitu bahwa corporate governance mempengaruhi kinerja operasi perusahaan.
Hasil analisis regresi model Tobin’s q menunjukkan bahwa baik variabel corporate governance maupun variabel-variabel kontrol secara statistik tidak mempengaruhi kinerja pasar perusahaan. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa corporate governance mempengaruhi kinerja pasar perusahaan secara statistik tidak didukung. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Daily dkk. (1998), hasil survey CBI, Deloitte dan Touche (1996) maupun hasil penelitian Young (2003). Hasil analisis regresi disajikan dalam tabel.4.
Tabel.4
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa corporate governance baru bisa memiliki keterkaitan dengan kinerja operasi perusahaan. Variabel corporate governance belum mampu mempengaruhi kinerja pasar perusahaan. Hal ini mungkin dikarenakan respon pasar terhadap implementasi corporate governance tidak bisa secara langsung (imediate) akan tetapi membutuhkan waktu. Penelitian ini memberikan tambahan bukti penelitian Gompers dkk. (2003) yang menemukan hubungan positif antara indeks corporate governance dengan kinerja perusahaan jangka panjang.
SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi keterkaitan corporate governance yang diterapkan dalam suatu perusahaan dengan kinerja perusahaan yang bersangkutan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dalam hal pengukuran variabel corporate governance yang telah disesuaikan dengan kondisi lingkungan bisnis di Indonesia (menggunakan ukuran yang dikembangkan oleh Indonesian Institute of Corporate Governance, 2002). Hasil analisis menunjukkan bahwa, untuk model regresi dengan return on equity sebagai variabel dependennya, hanya variabel corporate governance yang secara statistik signifikan mempengaruhi return on equity. Sedangkan tidak ada satupun variabel kontrol yang secara statistik signifikan mempengaruhi return on equity. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian didukung, yaitu bahwa corporate governance mempengaruhi kinerja operasi perusahaan.
Hasil analisis model regresi dengan Tobin’s q sebagai variabel dependennya menunjukkan bahwa baik variabel corporate governance maupun variabel-variabel kontrol secara statistik tidak mempengaruhi kinerja pasar perusahaan. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa corporate governance mempengaruhi kinerja pasar perusahaan secara statistik tidak didukung. Hal ini mungkin dikarenakan respon pasar terhadap implementasi corporate governance tidak bisa secara langsung (imediate) akan tetapi membutuhkan waktu.
Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan yang harus diperhatikan dalam menginterpretasikan hasil penelitian. Keterbatasan pertama adalah terletak pada kurang pastinya keputusan apakah masalah autokorelasi sudah teratasi atau tidak. Nilai Durbin-Watson d statistic untuk model regresi dengan return on assets sebagai variabel dependennya terletak diantara dL dan dU, yaitu daerah tanpa keputusan. Dengan kurang teratasinya masalah autokorelasi dalam model regresi tersebut maka hasil penelitian menjadi kurang robust. Keterbatasan kedua, adalah dalam hal data penelitian kinerja pasar. Data pasar yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data untuk tahun yang sama dengan data corporate governance. Oleh karena pasar membutuhkan waktu untuk bereaksi di satu sisi, dan pengungkapan tentang implementasi corporate governance dalam laporan tahunan baru keluar disekitar bulan Maret tahun berikutnya, maka data kinerja pada periode berikutnya akan lebih baik untuk digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Beck, T.; R. Levine; dan N. Loayza. 2000. Finance and the sources of growth. Journal of Financial Economics 58. hal: 261-300.
Black, Bernard S. 2001. The corporate governance behavior and market value of Russian Firms. Emerging Markets Review, Vol. 2, hal. 89-108.
Black, Bernard S.; H. Jang; dan W. Kim. 2003. Does corporate governance affect firm value? Evidence from Korea. http://papers.ssrn.com
Dalton, D.R.; J.L. Johnson; dan A.E. Ellstrand. 1999. Number of directors and financial performance: A Meta-Analysis. Academy of Management Journal, Vol. 42. No. 6, hal. 674-686.
Davies, A. 1999. “A strategic Aprroach to Corporate Governance”. Gower Publishing Limited. England.
Durnev, A. dan E.H. Kim. 2002. To steal or not to steal: Firm attributes, legal environment, and valuation. http://papers.ssrn.com
Eisenhardt, Kathleen M. 1989. Agency Theory: An Assesment and Review. Academy of Management Review. Vol. 14. No. 1, pp. 57-74.
Fama, Eugene F. 1980. Agency Problems and the Theory of the Firm. Journal of Political Economy. 88, No.2 (April), hal. 288-307.
__________ and M.C. Jensen. 1983. Separation of Ownership and Control. Journal of Law and economics. Vol. XXVI, June, hal. 301-326.
Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3. hal. 305-360.
___________ dan R. Ruback. 1983. The market for corporate control: The scientific evidence. Journal of Financial Economic 11, hal. hal. 5-50.
Johnson, Simon; P. Boone; A. Breach; dan E. Friedman. 2000. Corporate governance in Asian financial crisis. Journal of Financial Economics, 58, hal. 141-186.
King, R. dan R. Levine. 1993. Financial and growth: Schumpeter might be right. Quarterly Joournal of economics 108, hal. 717-738.
Klapper, Leora F. and I. Love. 2002. Corporate governance, investor protection, and performance in emerging markets. World Bank Working Paper. http:// ssrn.com
KNKCG. 2001. Pedoman Good Corporate Governance ref. 4.0.
La Porta, Rafael; F. Lopez-de-Silanes; A. Shleifer; dan R. Vishny. 1997. Legal determinant of external finance. Journal of Finance 52, hal.: 1131-1150.
La Porta, Rafael; F. Lopez-de-Silanes; A. Shleifer; dan R. Vishny. 1999. Corporate ownership around the world. Journal of Finance 54, hal.: 471-517.
La Porta, Rafael; F. Lopez-de-Silanes; A. Shleifer; dan R. Vishny. 2000. Investor protection and corporate governance. Journal of Financial Economics, 58, hal. 3-27.
Mitton, T. 2002. A cross-firm analysis of the impact of corporate governance on the East Asian financial crisis. Journal of Financial Economics, hal.
OECD. 1999. OECD Principles of Corporate Governance.
Shivdasani, A. 1993. Board composition, ownership structure, and hostile takeovers. Journal of Accounting and Economics 16, hal.: 167-198.
Shleifer, A. dan R.W. Vishny. 1997. A survey of corporate governance. Journal of Finance 52, hal. 737-783.
Tabel 1
Statistik Deskriptif
Variabel | Rata-rata | Deviasi Standar |
ROE |
Tobin’s q
CGPI
Komposisi Aktiva
Kesempatan Tumbuh
Ukuran Perusahaan4,9502
1,2009
69,7363
0,4976
58.387,39
14,267046,6515
0,6848
11,2550
0,6131
1.496.128,8855
1,6463
Tabel 2
Hasil Uji Multikolinier
Varibel | VIF |
CGPI |
Komposisi Aktiva
Kesempatan Tumbuh
Ukuran Perusahaan1,224
1,075
1,306
1,497
Tabel 3
Hasil Uji Heteroskedastisitas: Model Return on Equity
Variabel Independen | Sig.ROE | Sig.Tobin’s q |
Indeks corporate governance | ||
0,008 | 0,207 | |
Komposisi aktiva tetap | ||
0,658 | 0,501 | |
Kesempatan tumbuh | ||
0,323 | 0,566 | |
Ukuran perusahaan | ||
0,279 | 0,111 |
Tabel 4
Hasil Uji Hipotesis
(Tiap-tiap variabel dideflasikan dengan akar CGPI)
ROEAdjusted R2 = 0,131; F=2,919 (nilai p=0,031 | Tobin’s qAdjusted R2 = 0,070; F= 0,883 (nilai p=0,481) | |
Variabel Independen | Sig. | Sig. |
Indeks corporate governance | ||
0,036 | 0,385 | |
Komposisi aktiva tetap | ||
0,530 | 0,762 | |
Kesempatan tumbuh | ||
0,147 | 0,304 | |
Ukuran perusahaan | ||
0,710 | 0,083 |