BAHAN PRESENTASI

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER :

BAHAN PRESENTASI  :

  1. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 1
  2. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 2
  3. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 3
  4. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 4
  5. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 5
  6. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 6
  7. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 7
  8. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 8
  9. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 9
  10. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 10
  11. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 11
  12. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 12
  13. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 13
  14. PPT UEU – Bahasa Indonesia – Pertemuan 14

MODUL PEMBELAJARAN :

DAFTAR PUSTAKA

  1. Arifin, E. Zainal, 2011. Metoda Penelitian Ilmiah, (Jakarta : Pustaka Mandiri)
  2. Arifin, E. Zaenal, 2011. Dasar-dasar Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta : Grasindo)

PENILAIAN

  1. Kehadiran = 10%
  2. Tugas = 20 %
  3. UTS = 30 %
  4. UAS = 40 %

DOSEN PENGAMPU

  1. 7158 – Waslam
  2. 5880 – Nina Nurhasanah
  3. 6236 – Ari Anggarani Winadi
  4. 6560 – Erwan Baharudin
  5. 5080 – Fitria Olivia
  6. 5867 – Sumartono
  7. 7059 – Muniroh
  8. 7375 – Silvia Ratna Juwita

KONSEP APRESIASI PROSA FIKSI

A. UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM PROSA FIKSI

Istilah prosa fiksi seringkali disebut dengan karya fiksi. Yang dimaksud dengan prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.

Sebagai salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi, 1) pengarang atau narator, 2) isi penciptaan, 3) media penyampai isi berupa bahasa, dan 4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi menjadi suatu wacana.

Pada  sisi  lain,  dalam  memaparkan  isi  tersebut,  pengarang  akan memaparkannya  lewat  1)  penjelasan  atau  komentar,  2)  dialog  maupun monolog, dan 3) lewat lakuan atau action.

1. Setting

Setting merupakan  peristiwa-peristiwa  dalam  cerita  fiksi  yang dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Namun, setting bukan hanya bersifat fisikal dalam suatu cerita fiksi. Ia juga bersifat psikologis yang mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.

Untuk memahami  setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. Setting yang mampu menuansakan suasana-suasana tertentu terjadi akibat penataan setting yang berhubungan dengan dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu cerita. Suasana penuturan itu sendiri dibedakan antara  tone sebagai suasana  penuturan  yang  berhubungan  dengan  sikap pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya, dengan  mood yang berhubungan dengan suasana batin individual pengarang dalam mewujudkan suasana cerita. Sementara suasana cerita yang ditimbulkan oleh setting maupun implikasi  maknanya  dalam  membangun  suasana  cerita  disebut  dengan atmosfer.

Sewaktu menelaah unsur  setting dalaam suatu karya fiksi, terkadang kita menemui kendala dalam hal pengidentifikasiannya. Hal ini tentu saja menyulitkan beberapa penelaah, terutama bagi pemula. Oleh karena itu, berikut ini beberapa hal pertanyaan yang dapat membantu seseorang untuk memudahkan dalam mengidentifikasi setting dalam suatu karya fiksi.

  1. Adakah unsur setting dalam karya fiksi yang saya baca?
  2. Apabila ada,  setting itu meliputi  setting  apa saja; tempat, waktu, peristiwa,, suasana kehidupan ataukan benda-benda dalam lingkungan tertentu.
  3. Apakah setting itu semata-mata bersifat fisikal atau berfungsi sebagai dekor saja, ataukah bersifat psikologis.
  4. Bila bersifat psikologis, kandungan makna apa dan suasana bagaimana yang dinuansakannya
  5. Bagaimanakah hubungan  setting dalam karya fiksi yang saya baca dengan tema yang mendasarinya

Keseluruhan pertanyaan di atas hanya merupakan gambaran umum, karena pada dasarnya tidak semua karya fiksi mampu menampung dan memberikan  jawaban atas pertanyaan-pertanyaan  itu.  Dengan  demikian, sifatnya luwes dan harus disesuaikan dengan karakteristik karya fiksi yang dibaca.

Tang (2007) mengemukakan bahwa berbagai peristiwa dalam sebuah cerita, selalu terjadi dalam suatu rentang waktu dan pada suatu tempat tertentu. Keterkaitan mutlak antara sebuah peristiwa dengan waktu dan tempat tertentu merupakan sebuah gejala alamiah. Tak satupun makhluk atau apa pun juga namanya, bergerak dalam kehampaan. Secara sederhana, Sudjiman (1992) mengatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra; semua turut membangun latar cerita.

2. Unsur Gaya dalam Karya Fiksi

Istilah  gaya  mengandung  definisi  cara  seseorang  menyampaikan gagasannya dengan  menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Cara seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dapat dilihat pada penggunaan wacana ilmiah dan wacana sastra. Dalam wacana ilmiah, seorang pengarang akan menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna konotatif. Sedangkan dalam  wacana  sastra,  pengarang  akan  menggunakan  pilihan  kata  yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan kalimatnya juga mengandung adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya nuansa makna tertentu saja.

3. Penokohan dan Perwatakan

Boulton  mengungkapkan  bahwa  seorang  pengarang  dapat menggambarkan dan memunculkan tokohnya melalui cara yang beragam. Pengarang dapat menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam hidupnya,, pelaku yang memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri.

Boulton membedakan beberapa peran yang berbeda dalam sebuah cerita fiksi, yakni:

  1. Tokoh inti atau tokoh utama adalah seorang tokoh yang memiliki peranan yang penting dalam sebuah cerita.
  2. tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama.

Dalam menentukan peran tokoh utama dan tokoh pembantu dapat diketahui

melalui beberapa cara yakni,

  1. Seorang pembaca dapat menentukannya dengan cara melihat keseringan pemunculannya dalam suatu cerita.
  2. juga  dapat  ditentukan  melalui  petunjuk  yang  diberikan  oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya.
  3. dapat ditentukan dengan cara melihat judul cerita, misalnya judul Siti Nurbaya.

Sewaktu pengarang menentukan tokoh dalam ceritanya, maka dia juga akan menentukan watak atau karakter tokoh tersebut. Istilah  protagonis, biasanya diberikan kepada pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca. Istilah antagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pembaca.

Dalam  upaya  memahami  watak  pelaku,  seorang  pembaca  dapat menelusurinya dengan cara:

  1. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
  2. gambaran  yang  diberikan  pengarang  lewat  gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian;
  3. menunjukkan bagaimana perilaku;
  4. melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri;
  5. memahami bagaimana jalan pikirannya;
  6. melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
  7. melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;
  8. melihat  bagaimana  tokoh-tokoh  yang  lain  tidak memberikan reaksi terhadapnya;
  9. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

Selain beberapa ragam pelaku yang disebutkan di atas, juga masih ada beberapa ragam pelaku lainnya, di antaranya sebagai berikut:

  1. simple character, ialah bila pelaku itu tidak banyak menunjukkan  adanya  kompleksitas  masalah. Pemunculannya  hanya  dihadapkan  pada  satu permasalahan tertentu yang tidak banyak menimbulkan adanya obsesi-obsesi lain yang kompleks;
  2. complex character, ialah pelaku yang pemunculannya banyak dibebani permasalahan. Selain itu, pelaku juga banyak ditandai oleh munculnya obsesi batin yang cukup  kompleks  sehingga  kehadirannya  banyak memberikan  gambaran  perwatakan  yang  kompleks. Biasanya sering dialami oleh pelaku utama.
  3. Pelaku dinamis, ialah pelaku yang memiliki perubahan atau  perkembangan  batin  dalam   keseluruhan penampilannya.
  4. Pelaku statis, ialah pelaku yang tidak menunjukkan perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai akhir cerita.

4. Alur

Alur dalam karya fiksi merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur sering disebut plot. Lebih lanjut, dengan mengutip pendapat Forster dalam (Tang. 2007) bahwa untuk memahami alur dengan baik, dibutuhkan intelegensi dan daya ingat/memori (intelligency and memory) yang kuat. Hal ini berdasarkan pada konsep, bahwa dalam sebuah cerita yang bersifat narasi, terdapat kejadian atau fakta yang terorganisir dan bersiifat korespondensi, tetapi ada juga unsur yang bersifat surprise atau bersifat misteri dalam sebuah alur dan hal ini tetntunya menginginkan sebuah intelegensi yang tinggi.

Secara khusus, dengan mengutip pendapat Scholes dalam (Tang : 2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen penting dalam sebuah alur, yakni: alur aksi/tindakan, alur karakter, dan alur pikiran. Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Alur aksi/tindakan, merupakan prinsip perpaduan (sintesis) yakni perubahan sempurna, berangsur-angsur atau mendadak dalam suatu situasi oleh pelaku utama (protagonist), yang ditentukan atau dipengaruhi oleh karakter dan pikiran;
  2. Alur karakter, pada dasarnya ini sebuah proses sempurna dari perubahan dalam karakter moral protagonist, dengan cepat atau lambat dalam tindakan dan ia menunjukkannya dalam dua sisi yaitu dalam pikiran serta perasaan;
  3. Alur pikiran merupakan sebuah proses sempurna dari perubahan dalam pikiran protagonist sebagai akibat dari perasaannya, yang secara langsung dijelmakan ke dalam tindakan atau karakternya sebagai suatu kebiasaan.

Lebih lanjut, Tang (2007) mengemukakan bahwa unsur yang terpenting dalam suatu aluir adalah munculnya konflik dan klimaks dalam cerita narasi tersebut. konflik dalam karya fiksi terdiri atas: 1) konflik internal, pertentangan dua keinginan dalam diri seorang tokoh; 2) konflik sentral, yaitu konflik antara satu  tokoh  dengan  tokoh  lain,  ataukah  konflik  antara  tokoh  dengan lingkungannya; dan 3) konflik sentral, merupakan jenis konflik kecil. Artinya, bahwa mungkin saja konflik yang terjadi dapat berupa konflik internal ataukah konflik eksternal yang kuat, mungkin pula gabungan dari keduanya. Konflik sentral inilah yang merupakan inti dari struktur cerita, dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan alur.

5. Titik Pandang atau point  of  v iew

Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Ada empat titik pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya, yakni sebagai berikut:

  1. Narrator omniscient, adalah  narator atau pelaku  kisah yang  juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini dia mampu memaparkan sejumlah peran pelaku tentang apa yang ada dalam benak pelaku uatama maupun pelaku lainnya, baik secara fisik maupun psikologis; pengarang sering menyebut dirinya dengan aku, saya, nama pengarang sendiri;
  2. Narrator observer,  adalah  bila  pengisah  hanya  berfungsi  sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas  tertentu  tentang  perilaku  batiniah  para  pelaku;  pengarang menyebutkan nama pelakunya dengan  ia, dia, nama-nama lain, dan
  3. mereka.
  4. Narrator observer omniscient,  ialah  meskipun  pengarang  hanya menjadi pengamat dari pelaku, juga merupakan pengisah atau penutur yang serba tahu, meskipun menyebut nama pelaku dengan is, mereka, dan dia. Hal ini mungkin saja terjadi karena pengarang prosa fiksi adalah juga merupakan pencipta dari para pelakunya.
  5. Narrator the third person omniscient, ialah pengarang mungkin saja hadir di dalam cerita yang diciptakannya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini, sebagai pelaku ketiga pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, saya, atau aku.

Luxemberg, et al (1987) menjelaskan bahwa adakalanya suatu cerita secara berturut-turut menampilkan berbagai pencerita atau pengisah. Perkataan seorang dengan yang lain saling bergantian sehingga keseluruhan penuturan mereka membentuk cerita besarnya. Dalam hal ini kedudukan semua pencerita sederajat. Sehingga tepatlah kalau Luxemburg, et al mengatakan bahwa setiap cerita  mana  pun,  pastilah  ada  penceritanya.  Kadang-kadang  ia memperkenalkan diri, kadang-kadang kehadirannya harus kita simpulkan saja dari kenyataan bahwa cerita iru diceritakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa titik pandang oleh seorang pengarang dapat berganti sesuai dengan penceritaan yang dikisahkan oleh pengarang itu sendiri.

6. Tema

Scharbach  dalam (Aminuddin, 2002) menjelaskan tema sebagai sebuah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkannya sehingga pembaca mudah memahami tema pada saat membaca atau selesai membacanya.

Pradotokusumo (1992) mengemukakan pengertian tema dipandang dari  sudut cerita narasi (Novel/cerpen) dalam dua makna, yakni: 1) tema adalah gagasan sentral atau gagasan yang dominant di dalam suatu karya sastra; 2) pesan atau nilai moral yang terdapat secara implicit di dalam karya seni. Batasan yang kedua ini lebih mengacu pada batasan amanat.

Untuk  dapat  memahami  tema  dalam  suatu  cerita  secara  mudah, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut ini.

  1. Memahami setting dalam cerita fiksi yang dibacanya;
  2. memahami penokohan dan perwatakan para pelaku;
  3. memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam karya fiksi yang dibacanya;
  4. memahami plot atau alur cerita yang dibacanya;
  5. menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita;
  6. menentukan  sikap  penyair  terhadap  pokok-pokok  pikiran  yang ditampilkannya;
  7. mengidentifikasi  tujuan  pengarang  memaparkan  ceritanya  dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya;
  8. menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar yang dipaparkan pengarangnya.

APRESIASI SASTRA

1.      Pengertian Apresiasi Sastra

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Konteks yang lebih luas dalam istilah apresiasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pendapat lain, Squire dan Taba menyimpulkan bahwa apresiasi sebagai suatu proses yang melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (3) aspek evaluatif.

Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suatu teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks sastra itu sendiri atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik sastra yang bersifat objektif itu misalnya tulisan serta aspek bahasa dan struktur wacana dalam hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat. Sedangkan unsur ekstrinsik antara lain berupa biografi pengarang, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra.

Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembicara dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperanan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau yang bersifat konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis.

Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu meresponsi teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian.

Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi di atas, S. Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dari pendapat itu juga dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan ruhaniahnya.

2.      Kegiatan Langsung dan Kegiatan Tidak Langsung  dalam Mengapresiasi Sastra

Apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep abstrak yang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku, melainkan merupakan pengertian yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu kegiatan yang harus terwujud secara konkret. Perilaku tersebut dalam hal ini dapat dibedakan antara perilaku kegiatan secara langsung dan kegiatan perilaku secara tidak langsung.

Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, naskah drama, maupun teks sastra berupa puisi.

Kegiatan langsung yang terwujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi, misalnya saat Anda melihat, mengenal, memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pementasan drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di panggung terbuka. Kedua bentuk kegiatan itu dalam hal ini perlu dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berulang kali, sehingga dapat melatih dan mengembangkan kepekaan pikiran dan perasaan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra, baik yang dipaparkan lewat media tulisan, lisan, maupun visual.

Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah maupun koran, mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Kegiatan itu disebut sebagai kegiatan apresiasi secara tidak langsung karena kegiatan tersebut nilai akhirnya bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.

Dengan demikian, kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu pada gilirannya akan ikut berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi sastra jika bahan bacaan tentang sastra yang telah ditelaahnya itu memiliki relevansi dengan kegiatan apresiasi sastra. Misalnya membaca masalah minat baca sastra murid, kemampuan apresiasi sastra masyarakat Indonesia atau mungkin artikel tentang pengajaran sastra di sekolah. Meskipun pembahasan itu sangat penting untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan, pembahasan itu sedikit sekali peranannya atau bahkan tidak berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi. Dalam hal demikian, pembaca tidak melaksanakan kegiatan apresiasi secara langsung maupun tidak langsung.

3.      Bekal Awal Mengapresiasi Sastra

Menurut pendapat E.E. Kellet pada saat membaca karya sastra selalu berusaha menciptakan sikap serius, tetapi dengan suasana batin riang. Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta sastra itu terjadi karena sastra lahir dari daya kontemplasi batin pengarang sehingga untuk memahaminya juga membutuhkan pemilikan daya kontemplatif pembacanya. Sementara pada sisi lain, sastra merupakan bagian dari seni yang berusaha menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat aktual dan imajinatif sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya.

Sebab itu tidak berlebihan jika Boulton mengungkapkan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai macamproblema yang berhubungan dengan kompleksitas hidup. Kandungan makna yang begitu kompleks serta berbagai macam nilai keindahan tersebut dalam hal ini akan mewujudkan atau tergambar lewat media kebahasaan, media tulisan, dan struktur wacana.

Sastra, dengan demikian sebagai salah satu cabang seni sebagai bacaan. Sastra tidak cukup dipahami lewat analisis kebahasaannya, melalui studi yang disebut text grammar atau text linguistics, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan dengan literary text karena teks sastra bagaimanapun memiliki ciri-ciri khusus teks sastra itu salah satunya ditandai oleh adanya unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berbeda dengan unsur-unsur yang membangun bahan bacaan lainnya.

Berdasarkan keseluruhan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain:

  1. unsur keindahan,
  2. unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam kompleksitas permasalahan kehidupan,
  3. media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana,
  4. unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan ciri karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks.

Sejalan dengan kandungan keempat aspek di atas, mengimplikasikan bahwa untuk mengapresiasi cipta sastra, pembaca pada dasarnya dipersaayaratkan memiliki bekal-bekal tertentu. Bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator antara lain:

  1. kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra,
  2. pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan ini secara intensif-kontemplatif  maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat dan psikologi,
  3. pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan
  4. pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.

Kemampuan untuk mengapresiasi cipta sastra seseorang harus secara terus menerus menggauli karya sastra. Pemilikan bekal pengetahuan dan pengalaman dapat diibaratkan sebagai pemilikan pisau bedah, sedangkan kegiatan menggauli cipta sastra itu sebagai kegiatan pengasahan sehingga pisau itu menjadi tajam dan semakin tajam, yakni jika pembaca itu semakin sering dan akrab dengan kegiatan membaca sastra.

Lebih lanjut, seperti telah disinggung di depan, kepekaan emosi dan perasaan itu bukan hanya berhubungan dengan kegiatan penghayatan dan pemahaman nilai-nilai keindahan, melainkan juga berhubungan dengan usaha pemahaman kandungan makna dalam cipta sastra yang umumya bersifat konotatif. Konotasi makna dalam cipta sastra itu terjadi karena kata-kata dalam cipta sastra itu terwujud dalam endapan pengalaman, daya emosional, maupun daya intelektual pengarangnya selain itu juga telah mengalami pemadatan. Sebab itulah dalam kegiatan apresiasi sastra, Brooks membedakan adanya dua level, yakni level objektif yang berhubungan dengan respons intelektual, dan level subjektif yang berhubungan dengan respons emosional.

Bahan Diskusi

  1. jelaskan pengertian apresiasi sastra!
  2. Jelaskan perbedaan apresiasi sastra sebagai kegiatan langsung dan apresiasi sastra sebagai kegiatan tidak langsung!
  3. Sebutkan beberapa bekal awal yang harus dimiliki oleh seorang apresiator sastra!

ARTI DEFINISI / PENGERTIAN DRAMA DAN JENIS / MACAM DRAMA – PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Drama adalah suatu aksi atau perbuatan (bahasa yunani). Sedangkan dramatik adalah jenis karangan yang dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan. Sandiwara adalah sebutan lain dari drama di mana sandi adalah rahasia dan wara adalah pelajaran. Orang yang memainkan drama disebut aktor atau lakon.

Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama.

1. Drama Baru / Drama Modern
Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada mesyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari.

2. Drama Lama / Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya.

Macam-Macam Drama Berdasarkan Isi Kandungan Cerita :

1. Drama Komedi
Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.

2. Drama Tragedi
Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.

3. Drama Tragedi Komedi
Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.

4. Opera
Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.

5. Lelucon / Dagelan
Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.

6. Operet / Operette
Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.

7. Pantomim
Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.

8. Tablau
Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya.

9. Passie
Passie adalah drama yang mengandung unsur agama / relijius.

10. Wayang
Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang. Dan lain sebagainya.

DEFINISI/PENGERTIAN BAHASA, RAGAM DAN FUNGSI BAHASA – PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.

Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.

Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.

Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.
2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).

Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.

Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri. Bahasa isyarat akan dibahas pada artikel lain di situs organisasi.org ini. Selamat membaca.

BAHASA INDONESIA EJAAN LAMA DJ = J, J = Y, TJ = C, OE = U, NJ = NY, SJ = SY, CH = KH

Pada zaman dahulu sebelum adanya EYD (Ejaan yang Disempurnakan) masyarakat Indonesia menggunakan cara penulisan yang lain daripada yang kita gunakan pada saat ini.  Itulah sebabnya kita merasa aneh ketika kita membaca tulisan-tulisan jadul (jaman dulu) ketika zaman pra kemerdekaan dan juga zaman awal kemerdekaan negara kita Republik Indonesia.  Itulah yang disebut dengan ejaan Van Ophuijsen yang berlaku kurang lebih dari tahun 1901 sampai dengan tahun 1947, serta sebagian lagi masih digunakan pada standar ejaan Republik alias ejaan Soewandi / Suwandi yang berlaku sejak tahun 1947 sampai dengan tahun 1972.  Setelah tahun 1972 negara kita menggunakan standar Ejaan yang Disempurnakan  (EYD).Beberapa Bentuk Huruf Ejaan Lama pada Bahasa Indonesia di Masa Lalu :1. Ejaan Huruf DJ Sama Dengan JHuruf j di masa lalu adalah dj.  Sedangkan di pada masa sekarang dj menjadi j.  Jika pada masa kini nama kita adalah Joko, maka di masa lalu nama kita adalah Djoko.Contoh :  Djakarta (Jakarta), Djiwa (Jiwa), Djembatan (Jembatan), Mandja (Manja).2. Ejaan Huruf J Sama Dengan YHuruf y di masa lalu adalah j.  Sedangkan di pada masa sekarang j menjadi y.  Jika pada masa kini nama kita adalah Yanti, maka di masa lalu nama kita adalah Janti.Contoh :  Jogjakarta (Yogyakarta), Pepaja (Pepaya), Jang (Yang), Daja (Daya).3. Ejaan Huruf TJ Sama Dengan CHuruf c di masa lalu adalah tj.  Sedangkan di pada masa sekarang tj menjadi c.  Jika pada masa kini nama kita adalah Cahyono, maka di masa lalu nama kita adalah Tjahjono.Contoh :  Tjinta (Cinta), Tjina (Cina), Pantjasila (Pancasila), Artja (Arca).4. Ejaan Huruf OE Sama Dengan UHuruf u di masa lalu adalah oe.  Sedangkan di pada masa sekarang oe menjadi u.  Jika pada masa kini nama kita adalah Budi, maka di masa lalu nama kita adalah Boedi.Contoh :  Tjepoe (Cepu), Goeroe (Guru), Soekarno (Sukarno), Boekoe (Buku).5. Ejaan Huruf NJ Sama Dengan NYHuruf ny di masa lalu adalah nj.  Sedangkan di pada masa sekarang nj menjadi ny.  Jika pada masa kini nama kita adalah Banyuaji, maka di masa lalu nama kita adalah Banjoeadji.Contoh :  Njonja (Nyonya), Njamoek (nyamuk), Semoeanja (Semuanya), Tanja (Tanya).6. Ejaan Huruf SJ Sama Dengan SYHuruf sy di masa lalu adalah sj.  Sedangkan di pada masa sekarang sj menjadi sy.  Jika pada masa kini nama kita adalah Syahrini, maka di masa lalu nama kita adalah Sjahrini.Contoh :  Moesjawarah (Musyawarah), Sjarat (Syarat), Sjair (Syair), Sjamsoedin (Syamsudin)7. Ejaan Huruf CH Sama Dengan KHHuruf kh di masa lalu adalah ch.  Sedangkan di pada masa sekarang ch menjadi kh.  Jika pada masa kini nama kita adalah Khansa, maka di masa lalu nama kita adalah Chansa.Contoh :  Achir (Akhir), Chalayak (Khalayak), Chairil (Khairil), Chasiat (Khasiat).Dan masih banyak lagi perubahan ejaan lainnya seperti pengulangan kata yang menggunakan angka seperti ragoe2 menjadi ragu-ragu, penggunaan awalan kata di untuk menunjukkan tempat seperti diroemah menjadi di rumah, penggunaan tanda ‘ seperti ra’jat menjadi rakyat, dan lain-lain.Pada saat ini tidak diperbolehkan lagi menggunakan ejaan lama seperti ejaan van ophuijsen dan ejaan republik pada bahasa indonesia resmi.  Namun kalau untuk sekedar iseng-iseng saja masih diperbolehkan menggunakan ejaan lama di dalam tulisan kita.  Sebagai warga negara yang baik, kita sebaiknya menggunakan sistem penulisan sesuai dengan standar penulisan yang resmi dan diakui di negara kita yaitu Ejaan yang Disempurnakan sesuai dengan edisi revisi yang terakhir.

TATA TULIS ILMIAH

A.   Pengertian Karya Tulis Ilmiah

Karya tulis ilmiah adalah suatu produk dari kegiatan ilmiah. Membicarakan produk ilmiah, pasti kita membayangkan kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan temuan baru yang bersifat ilmiah, yaitu penelitian. Memang temuan ilmiah dilakukan melalui penelitian, namun tidak hanya penelitian merupakan satu-satunya karya tulis ilmiah.

Karya tulis ilmiah adalah suatu tulisan yang membahas suatu permasalahan. Pembahasan itu dilakukan berdasarkan penyelidikan, pengamatan, pengumpulan data yang diperoleh melalui suatu penelitian. Karya tulis ilmiah melalui penelitian ini menggunakan metode ilmiah yang sistematis untuk memperoleh jawaban secara ilmiah terhadap permasalahan yang diteliti. Untuk memperjelas jawaban ilmiah berdasarkan penelitian, penulisan karya tulis ilmiah hanya dapat dilakukan sesudah timbul suatu masalah, yang kemudian dibahas melalui penelitian dan kesimpulan dari penelitian tersebut.

Karya tulis ilmiah sebagai sarana komunikasi ilmu pengetahuan yang berbentuk tulisan menggunakan sistematika yang dapat diterima oleh komunitas keilmuan melalui suatu sistematika penulisan yang disepakati. Dalam karya tulis ilmiah ciri-ciri keilmiahan dari suatu karya harus dapat dipertanggung jawabkan secara empiris dan objektif. Teknik penulisan ilmiah mempunyai dua aspek yakni gaya penulisan dalam membuat pernyataan ilmiah serta teknik notasi dalam menyebutkan sumber pengetahuan ilmiah yang digunakan dalam penulisan. Penulisan ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Sebuah kalimat yang tidak bisa diidentifikasikan mana yang merupakan subjek dan predikat serta hubungan apa antara subjek dan predikat kemungkinan besar merupakan informasi yang tidak jelas. Penggunaan kata harus dilakukan secara tepat artinya kita harus memilih kata-kata yang sesuai dengan pesan apa yang harus disampaikannya.

Dalam penelitian yang digunakan sebagai bahan penulisan karya tulis ilmiah mengutip pernyataan orang lain sebagai dasar atau sebagai landasan penyusunan penelitian. Pernyataan ilmiah ini digunakan untuk bermacam-macam tujuan sesuai dengan bentuk argumentasi yang diajukan. Pernyataan tersebut dapat digunakan sebagai definisi dalam menjelaskan suatu konsep, atau dapat digunakan sebagai premis dalam pengambilan kesimpulan pada suatu argumentasi.

Pernyataan ilmiah yang harus kita gunakan dalam tulisan harus mencakup beberapa hal, yaitu :

  1. Harus dapat kita identifikasikan orang yang membuat pernyataan tersebut.
  2. Harus dapat kita identifikasikan media komunikasi ilmiah di mana pernyataan disampaikan apakah dalam makalah, buku, seminar, lokakarya dan sebagainya.
  3. Harus dapat diindentifikasikan lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat domisili dan waktu penerbitan itu dilakukan. Sekiranya publikasi ilmiah tersebut tidak diterbitkan maka harus disebutkan tempat, waktu dan lembaga yang melakukan kegiatan tersebut.

Cara kita mencantumkan ketiga hal tersebut dalam karya tulis ilmiah disebut teknik notasi ilmiah. Terdapat bermacam-macam teknik notasi ilmiah yang pada dasarnya mencerminkan hakikat dan unsur yang sama.

Buku ini memberikan contoh teknik notasi ilmiah yang menggunakan catatan kaki (Footnote). Catatan kaki merupakan informasi dari pernyataan yang kita kutip. Di samping itu catatan kaki dapat digunakan sebagai informasi tambahan yang tidak langsung berkaitan dengan pernyataan dalam badan tulisan.

Kutipan yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ada dua jenis yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung merupakan pernyataan yang kita tulis dalam karya tulis ilmiah susunan kalimat aslinya tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Kutipan tak langsung merupakan kutipan pendapat atau pernyataan orang lain dengan melakukan perubahan kalimat yang dikutip disesuaikan dengan bahasa penulis itu sendiri.

B. Persyaratan Karya Tulis Ilmiah

Karya tulis ilmiah merupakan perwujudan kegiatan ilmiah yang dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Karya tulis ilmiah adalah karangan atau karya tulis yang menyajikan fakta dan ditulis dengan menggunakan metode penulisan yang baku.

Hal-hal yang harus ada dalam karya ilmiah antara lain:

  1. Karya tulis ilmiah memuat gagasan ilmiah lewat pikiran dan alur pikiran.
  2. Keindahan karya tulis ilmiah terletak pada bangun pikir dengan unsur-unsur yang menyangganya.
  3. Alur pikir dituangkan dalam sistematika dan notasi.
  4. Karya tulis ilmiah terdiri dari unsur-unsur: kata, angka, tabel, dan gambar, yang tersusun mendukung alur pikir yang teratur.
  5. Karya tulis ilmiah harus mampu mengekspresikan asas-asas yang terkandung dalam hakikat ilmu dengan mengindahkan kaidah-kaidah kebahasaan.
  6. Karya tulis ilmiah terdiri dari serangkaian narasi (penceritaan), eksposisi (paparan), deskripsi (lukisan) dan argumentasi (alasan).

Karya ilmiah adalah suatu karya tulis yang membahas suatu permasalahan. Pembahasan dilakukan berdasarkan penyelidikan, pengamatan, pengumpulan data yang didapat dari suatu penelitian.

Karya tulis ilmiah harus memiliki gagasan ilmiah bahwa dalam tulisan tersebut harus memiliki permasalahan dan pemecahan masalah yang menggunakan suatu alur pemikiran dalam pemecahan masalah. Alur pemikiran tersebut tertuang dalam metode penelitian. Metode penelitian ilmiah pada hakikatnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Dengan kata lain bahwa struktur berpikir yang melatarbelakangi langkah-langkah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan.

Metode penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan pemecahan masalah memiliki pengertian sebagai berikut:

  1. Penelitian adalah usaha yang sistematik dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah spesifik yang memerlukan pemecahan.
  2. Cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu.
  3. Cara ilmiah dilandasi oleh metode rasional dan metode empiris serta metode kesisteman.
  4. Penelitian meliputi proses pemeriksaan, penyelidikan, pengujian dan eksperimen yang harus diilakukan secara sistematik, tekun, kritis, objektif, dan logis.
  5. Penelitian dapat didefinisikan sebagai pemeriksaan atau penyelidikan ilmiah sistematik, terorganisasi didasarkan data dan kritis mengenai masalah spesifik yang dilakukan secara objektif untuk mendapatkan pemecahan masalah atau jawaban dari masalah tersebut.

Metode penulisan karya tulis ilmiah mengacu pada metode pengungkapan fakta yang biasanya berasal dari hasil penelitian dengan berbagai metode yang digunakan. Karya tulis ilmiah dapat juga disebut sebagai laporan hasil penelitian.

Laporan hasil penelitian ditulis sesuai dengan tujuan laporan tersebut dibuat atau ditujukan untuk keperluan yang dibutuhkan. Laporan hasil penelitian dapat ditulis dalam dua macam, yaitu sebagai dokumentasi dan sebagai publikasi. Perbedaan kedua karya tulis ilmiah ini terletak pada format penulisan.

Karya tulis ilmiah sebagian besar merupakan publikasi hasil penelitian. Dengan demikian format yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini ditentukan oleh isi penelitian yang menggambarkan metode atau sistematika penelitian. Metode penelitian secara garis besar dapat dibagi dalam empat macam.yaitu yang disusun berdasarkan hasil penelitian kuantitatif, hasil penelitian kualitatif, hasil kajian pustaka, dan hasil kerja pengembangan.

Karya tulis ilmiah yang berupa hasil penelitian ini dapat dibedakan berdasarkan sasaran yang dituju oleh penulis. Karya tulis ilmiah untuk kepentingan masyarakat akademik berupa skripsitesis, dan disertasi. Karya tulis ilmiah untuk kepentingan masyarakat akademik bersifat teknis, berisi apa yang diteliti secara lengkap, mengapa hal itu diteliti, cara melakukan penelitian, hasil-hasil yang diperoleh, dan kesimpulan penelitian. Isinya disajikan secara lugas dan. objektif. Karya tulis ilmiah untuk kepentingan masyarakat umum biasanya disajikan dalam bentuk artikel yang lebih cenderung menyajikan hasil penelitian dan aplikasi dari hasil penelitian tersebut dalam subtansi keilmuannya.

Dari berbagai macam bentuk karya tulis ilmiah, karya tulis ilmiah memiliki persyaratan khusus. Persyaratan karya tulis ilmiah adalah:

  1. Karya tulis ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.
  2. Karya tulis ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur dan tidak bersifat terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik penulis ilmiah yakni mencantukan rujukan dan kutipan yang jelas.
  3. Karya tulis ilmiah disusun secara sistematis setiap langkah direncanakan secara terkendali, konseptual dan prosedural.
  4. Karya tulis ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
  5. Karya tulis ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian berdasarkan suatu hipotesis
  6. Karya tulis ilmiah hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, serta tidak bersifat ambisius dan berprasangka, penyajian tidak boleh bersifat emotif.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menulis karya ilmiah memerlukan persiapan yang dapat dibantu dengan menyusun kerangka tulisan. Di samping itu, karya tulis ilmiah harus mentaati format yang berlaku.