KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIAL.

Kebudayaan dalam perspektif Teori Sosial.
Pengertian.

Istilah ‘kebudayaan’ yang penggunaannya sedemikian longgar, serta pengertiannya pun sedemikian berganda (ambiguous). Mulai untuk cakupan pengertian yang sempit hingga cakupan yang sangat luar biasa luas. Luas cakupan itu tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, namun juga dalam wacana ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial. Kata ‘kebudayaan’ berasal dari bahasa sanksekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti akal atau budi. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan sendiri di dalam wacana ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan upaya mencari padanan kata culture dalam bahasa Inggris. Sedangkan ‘culture’ adalah berasal dari bahasa Latin yaitu ‘colere’ yang berarti bercocok tanam. ‘Culture‘ diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam. Hingga kinipun kata ‘culture’ tetap juga digunakan dalam dunia pertanian, misalnya ‘agriculture’ untuk menyebut ilmu-ilmu pertanian, ‘monoculture’ untuk menyebut pertanian yang terdiri dari satu jenis tanaman.

Penggunaan kata ‘culture’ yang semula berada di dunia pertanian itu lantas disublimasikan sehingga merambah ke dalam wilayah pengertian yang jauh lebih luas. Kenapa Hal itu bisa terjadi?. Tampaknya terkait dengan asal-mulanya perkembangan kebudayaan itu sendiri yang diduga pertama-tama berakar dari dunia pertanian. Realitas itu bisa dijelaskan dengan mengacu kepada teori sejarah ‘challenge and response’ dari Arnold Toynbee. Tantangan pertama yang menuntut respon manusia, yang memaksa manusia harus menggerakkan seluruh akal budinya adalah keharusan untuk mempertahankan hidup. Terutama harus makan. Manusia merespon tantangan itu dengan memuat ide, nilai, norma-norma dan peralatan-peralatan yang berkaitan dengan pertanian.

 Karena pertanianlah sebagai sumber mata pencaharian manusia. Jadi secara hipotetik, dapat dikatakan bahwa pertanian adalah awal manusia berbudaya.

Sebagai obyek studi, semula antropologilah yang dipandang sebagai ‘pemilik’ wilayah studi kebudayaan. Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi tampaknya tidak mungkin memonopoli bidang ini, sebab pada kenyatannya wilayah studi ini juga berhimpitan dengan kawasan studi disiplin ilmu yang lain. Sosiologi misalnya. Hal itu bisa dimaklumi lantaran manusia adalah ‘obyek materia’ dari semua disiplin ilmu sosial. Sekalipun sosiologi memusatkan perhatian terhadap masyarakat, namun disadari bahwa masyarakat itu menjadi ada lantaran adanya kebudayaan. Keduanya bukan hanya berkoeksistensi namun juga berintegrasi. Masyarakat memproduksi kebudayaan sekaligus sebagai pengguna kebudayaan itu untuk bereksistensi. Itulah sebabnya, dalam studi sosiologi samasekali tidak mungkin mengabaikan aspek kebudayaan. Pandangan semacam ini setidaknya dikemukakan oleh para penganut determinisme kebudayaan seperti antropolog Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski ketika menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan keberadaannya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.

Definisi klasik mengenai kebudayaan yang hingga kini menjadi sumber rujukan adalah dikemukakan oleh E.B. Tylor seorang antropolog terkemuka,

 dalam bukunya Primitive Culture, yang terbit tahun 1924:2 “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”

Dalam perpektif sosiologi, kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Alvin L. Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh oleh anggota-anggota suatu masyarakat.


Termasuk di dalam kebudayaan adalah: segala bentuk bangunan, peralatan, dan bentuk-bentuk pisik yang lain; di samping. teknik-teknik, lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok.

Definisi tersebut mewakili pandangan yang melihat kebudayaan sebagai pemilik wilayah cakupan yang amat luas sekaligus memandang kebudayaan sebagai system besar, fungsional dan menjadi penentu terhadap seluruh aspek kehidupan sosial. Di sini, kebudayaan mempunyai peluang besar untuk lebih bersifat massif. Kebudayaan adalah tercermin dalam realitas apa adanya di masyarakat. Sehingga kebudayaan adalah makna, nilai, adat, ide dan simbol yang relatif. Sedang kebudayaan dalam pengertian yang sempit, adalah ia memiliki kandungan spiritual dan intelektual yang tinggi. Karena itu ia menjadi elitis, adi luhung, berstandar tertinggi. Ia lebih merupakan suatu yang seharusnya. Kebudayaan dalam pengertian luas lebih mewakili pandangan bahwa kebudayaan itu adalah kenyataan obyektif. Sehingga kenyataan budaya itu bisa ditemukan di dalam institusi-institusi dan tradisi-tradisi. Sedang yang melihat kebudayaan dalam arti sempit mewakili pandangan bahwa bagaimanapun kebudayaan adalah merupakan kenyataan subyektif. Ia adalah produk dari tafsiran pribadi-pribadi. Bertrand lebih jauh mencoba memilah antara masyarakat dengan kebudayaan. Ia melukiskan bahwa masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang terorganisasi secara mantap untuk memelihara keadaan yang diperlukan untuk hidup bersama secara harmonis. Suatu masyarakat bisa berfungsi lantaran anggota-anggotanya menyepakati aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan dengan segala derivatnya inilah dalam pengetian yang lebih umum disebut kebudayaan suatu kelompok masyarakat.

Dengan demikian suatu kebudayaan tidak bisa eksis tanpa suatu masyarakat, begitu juga sebaliknya. Namun bagaimanapun, secara teoritis, evolusi budaya dapat dipelajari secara tersendiri (dalam antropologi) begitu pula perkembangan suatu masyarakat (dalam sosiologi).

BENTUK-BENTUK KEBUDAYAAN.

Sesungguhnya banyak cara untuk mengklasifikasikan kebudayaan. Di kalangan sosiolog umumnya sepakat bahwa kandungan kebudayaan pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua komponen yaitu material culture dan nonmaterial culture. Untuk istilah yang pertama tampaknya semuanya sepakat, sedangkan untuk yang kedua, ada pula yang menyebut immaterial culture. Bertrand memberi pengertian ‘material culture’, sebagai: “… a culture includes those things Which men have created and use which have a tangible forms” (jenis kebudayaan dimana orang telah menciptakan dan menggunakan ciptaannya itu untuk memiliki bentuk yang berwujud).

 Sedangkan ‘nonmaterial culture’ sebagai: “all those creations of man with he uses to explain and guide his actions, but with are not found except in his mind” (segala buatan manusia yang ia gunakan untuk menyatakan dan membimbing tindakannya, tetapi buatannya itu tidak bisa didapati kecuali di dalam pikirannya saja.

Adapun Selo Soemardjan, sosiolog paling terkemuka di Indonesia, merumuskan kebudayaan sebagai: “semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.” Karya menghasilkan ‘material culture’, sedangkan rasa dan cipta membuahkan ‘immaterial culture”. Rasa itu sendiri menghasilkan segala kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti yang luas; sedangkan cipta menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Bertitik tolak dari pembahasan singkat tersebut, patut dicurigai bahwa didalam kebudayaan terdapat adanya oposisi biner (binary oposition) sebagaimana pernah dituduhkan oleh antropolog strukturalis Levi-Strauss.

Jadi didalam kebudayaan itu ada unsur kontradiksi, yang menciptakan ketegangan-ketegangan kreatif. Dua ketegangan itu memiliki konsekuensi bahwa kebudayaan itu tidak pernah mandeg. Selalu melakukan rekonstruksi diri ataupun mendekonstruksi diri. Setidaknya ada lima oposisi biner didalam diri kebudayaan, yaitu: budaya material versus budaya immaterial, idea budaya versus realitas budaya, budaya seharusnya versus budaya senyatanya, budaya tinggi versus budaya rendahan, budaya elite versus budaya massa.

KARL MARX DAN MAX WEBER TENTANG DASAR KEBUDAYAAN.
Perdebatan dalam masalah yang paling fundamental mengenai kebudayaan berkembang dari Karl Marx dan Max Weber. Bagi Marx yang berpihak kepada faham materialistik dan strukturalistik, ide-ide kebudayaan dipandang sebagai produk dari hubungan-hubungan ekonomi. Sementara itu bagi Weber yang lebih berpihak pada faham konstruksianis melihat sebaliknya. Bahwa struktur ekonomi itu tidak lebih dari konsekuensi saja dari kebudayaan. Bagi Weber, sistem kebudayaan adalah otonom. Ia berevolusi sendiri tanpa terpengaruh oleh yang lain. Sebaliknya dalam pandangan Marx ide kebudayaan adalah didikte oleh keadaan materi tertentu dalam hal ini struktur ekonomi.
Secara sederhana, dan simplistis dua perbedaan itu bisa digambarkan sebagai berikut: bagi Marx, setelah di depannya ada kayu dan bahan-bahan lainnya ialah yang membuat munculnya ide membuat kursi.

 Jadi karena ada kayu maka kemudian muncul ide membikin kursi. Jika tidak ada kayu, ‘pasti’ tidak akan pernah muncul ide membuat kursi itu.

 Sedangkan bagi Weber, bermula ada ide membuat kursi, baru kemudian mencari-cari bahan untuk menuangkan ide tersebut. ‘Kebetulan’ di sana ada kayu. Maka kayu itu menjadi bermakna karena ada ide membuat kursi. Jika tidak ada ide itu, kayu akan tetap kayu, tidak akan pernah naik derajatnya menjadi kursi.
Dari dua perbedaan besar tersebut kemudian berkembang dua arus pemikiran yang disamping mendukung juga melakukan kritik dan merevisi. Dari Marx, muncul faham neomarxis antara lain Gramsci dan Lukacs. Sedangkan dari Weber muncul tokoh-tokoh konstruksionis kontemporer yaitu Habermas, Blias, dan Bourdieu.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *