KONSEP APRESIASI PROSA FIKSI

A. UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM PROSA FIKSI

Istilah prosa fiksi seringkali disebut dengan karya fiksi. Yang dimaksud dengan prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.

Sebagai salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi, 1) pengarang atau narator, 2) isi penciptaan, 3) media penyampai isi berupa bahasa, dan 4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi menjadi suatu wacana.

Pada  sisi  lain,  dalam  memaparkan  isi  tersebut,  pengarang  akan memaparkannya  lewat  1)  penjelasan  atau  komentar,  2)  dialog  maupun monolog, dan 3) lewat lakuan atau action.

1. Setting

Setting merupakan  peristiwa-peristiwa  dalam  cerita  fiksi  yang dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Namun, setting bukan hanya bersifat fisikal dalam suatu cerita fiksi. Ia juga bersifat psikologis yang mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.

Untuk memahami  setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. Setting yang mampu menuansakan suasana-suasana tertentu terjadi akibat penataan setting yang berhubungan dengan dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu cerita. Suasana penuturan itu sendiri dibedakan antara  tone sebagai suasana  penuturan  yang  berhubungan  dengan  sikap pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya, dengan  mood yang berhubungan dengan suasana batin individual pengarang dalam mewujudkan suasana cerita. Sementara suasana cerita yang ditimbulkan oleh setting maupun implikasi  maknanya  dalam  membangun  suasana  cerita  disebut  dengan atmosfer.

Sewaktu menelaah unsur  setting dalaam suatu karya fiksi, terkadang kita menemui kendala dalam hal pengidentifikasiannya. Hal ini tentu saja menyulitkan beberapa penelaah, terutama bagi pemula. Oleh karena itu, berikut ini beberapa hal pertanyaan yang dapat membantu seseorang untuk memudahkan dalam mengidentifikasi setting dalam suatu karya fiksi.

  1. Adakah unsur setting dalam karya fiksi yang saya baca?
  2. Apabila ada,  setting itu meliputi  setting  apa saja; tempat, waktu, peristiwa,, suasana kehidupan ataukan benda-benda dalam lingkungan tertentu.
  3. Apakah setting itu semata-mata bersifat fisikal atau berfungsi sebagai dekor saja, ataukah bersifat psikologis.
  4. Bila bersifat psikologis, kandungan makna apa dan suasana bagaimana yang dinuansakannya
  5. Bagaimanakah hubungan  setting dalam karya fiksi yang saya baca dengan tema yang mendasarinya

Keseluruhan pertanyaan di atas hanya merupakan gambaran umum, karena pada dasarnya tidak semua karya fiksi mampu menampung dan memberikan  jawaban atas pertanyaan-pertanyaan  itu.  Dengan  demikian, sifatnya luwes dan harus disesuaikan dengan karakteristik karya fiksi yang dibaca.

Tang (2007) mengemukakan bahwa berbagai peristiwa dalam sebuah cerita, selalu terjadi dalam suatu rentang waktu dan pada suatu tempat tertentu. Keterkaitan mutlak antara sebuah peristiwa dengan waktu dan tempat tertentu merupakan sebuah gejala alamiah. Tak satupun makhluk atau apa pun juga namanya, bergerak dalam kehampaan. Secara sederhana, Sudjiman (1992) mengatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra; semua turut membangun latar cerita.

2. Unsur Gaya dalam Karya Fiksi

Istilah  gaya  mengandung  definisi  cara  seseorang  menyampaikan gagasannya dengan  menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Cara seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dapat dilihat pada penggunaan wacana ilmiah dan wacana sastra. Dalam wacana ilmiah, seorang pengarang akan menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna konotatif. Sedangkan dalam  wacana  sastra,  pengarang  akan  menggunakan  pilihan  kata  yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan kalimatnya juga mengandung adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya nuansa makna tertentu saja.

3. Penokohan dan Perwatakan

Boulton  mengungkapkan  bahwa  seorang  pengarang  dapat menggambarkan dan memunculkan tokohnya melalui cara yang beragam. Pengarang dapat menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam hidupnya,, pelaku yang memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri.

Boulton membedakan beberapa peran yang berbeda dalam sebuah cerita fiksi, yakni:

  1. Tokoh inti atau tokoh utama adalah seorang tokoh yang memiliki peranan yang penting dalam sebuah cerita.
  2. tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama.

Dalam menentukan peran tokoh utama dan tokoh pembantu dapat diketahui

melalui beberapa cara yakni,

  1. Seorang pembaca dapat menentukannya dengan cara melihat keseringan pemunculannya dalam suatu cerita.
  2. juga  dapat  ditentukan  melalui  petunjuk  yang  diberikan  oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya.
  3. dapat ditentukan dengan cara melihat judul cerita, misalnya judul Siti Nurbaya.

Sewaktu pengarang menentukan tokoh dalam ceritanya, maka dia juga akan menentukan watak atau karakter tokoh tersebut. Istilah  protagonis, biasanya diberikan kepada pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca. Istilah antagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pembaca.

Dalam  upaya  memahami  watak  pelaku,  seorang  pembaca  dapat menelusurinya dengan cara:

  1. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
  2. gambaran  yang  diberikan  pengarang  lewat  gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian;
  3. menunjukkan bagaimana perilaku;
  4. melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri;
  5. memahami bagaimana jalan pikirannya;
  6. melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
  7. melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;
  8. melihat  bagaimana  tokoh-tokoh  yang  lain  tidak memberikan reaksi terhadapnya;
  9. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

Selain beberapa ragam pelaku yang disebutkan di atas, juga masih ada beberapa ragam pelaku lainnya, di antaranya sebagai berikut:

  1. simple character, ialah bila pelaku itu tidak banyak menunjukkan  adanya  kompleksitas  masalah. Pemunculannya  hanya  dihadapkan  pada  satu permasalahan tertentu yang tidak banyak menimbulkan adanya obsesi-obsesi lain yang kompleks;
  2. complex character, ialah pelaku yang pemunculannya banyak dibebani permasalahan. Selain itu, pelaku juga banyak ditandai oleh munculnya obsesi batin yang cukup  kompleks  sehingga  kehadirannya  banyak memberikan  gambaran  perwatakan  yang  kompleks. Biasanya sering dialami oleh pelaku utama.
  3. Pelaku dinamis, ialah pelaku yang memiliki perubahan atau  perkembangan  batin  dalam   keseluruhan penampilannya.
  4. Pelaku statis, ialah pelaku yang tidak menunjukkan perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai akhir cerita.

4. Alur

Alur dalam karya fiksi merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur sering disebut plot. Lebih lanjut, dengan mengutip pendapat Forster dalam (Tang. 2007) bahwa untuk memahami alur dengan baik, dibutuhkan intelegensi dan daya ingat/memori (intelligency and memory) yang kuat. Hal ini berdasarkan pada konsep, bahwa dalam sebuah cerita yang bersifat narasi, terdapat kejadian atau fakta yang terorganisir dan bersiifat korespondensi, tetapi ada juga unsur yang bersifat surprise atau bersifat misteri dalam sebuah alur dan hal ini tetntunya menginginkan sebuah intelegensi yang tinggi.

Secara khusus, dengan mengutip pendapat Scholes dalam (Tang : 2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen penting dalam sebuah alur, yakni: alur aksi/tindakan, alur karakter, dan alur pikiran. Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Alur aksi/tindakan, merupakan prinsip perpaduan (sintesis) yakni perubahan sempurna, berangsur-angsur atau mendadak dalam suatu situasi oleh pelaku utama (protagonist), yang ditentukan atau dipengaruhi oleh karakter dan pikiran;
  2. Alur karakter, pada dasarnya ini sebuah proses sempurna dari perubahan dalam karakter moral protagonist, dengan cepat atau lambat dalam tindakan dan ia menunjukkannya dalam dua sisi yaitu dalam pikiran serta perasaan;
  3. Alur pikiran merupakan sebuah proses sempurna dari perubahan dalam pikiran protagonist sebagai akibat dari perasaannya, yang secara langsung dijelmakan ke dalam tindakan atau karakternya sebagai suatu kebiasaan.

Lebih lanjut, Tang (2007) mengemukakan bahwa unsur yang terpenting dalam suatu aluir adalah munculnya konflik dan klimaks dalam cerita narasi tersebut. konflik dalam karya fiksi terdiri atas: 1) konflik internal, pertentangan dua keinginan dalam diri seorang tokoh; 2) konflik sentral, yaitu konflik antara satu  tokoh  dengan  tokoh  lain,  ataukah  konflik  antara  tokoh  dengan lingkungannya; dan 3) konflik sentral, merupakan jenis konflik kecil. Artinya, bahwa mungkin saja konflik yang terjadi dapat berupa konflik internal ataukah konflik eksternal yang kuat, mungkin pula gabungan dari keduanya. Konflik sentral inilah yang merupakan inti dari struktur cerita, dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan alur.

5. Titik Pandang atau point  of  v iew

Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Ada empat titik pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya, yakni sebagai berikut:

  1. Narrator omniscient, adalah  narator atau pelaku  kisah yang  juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini dia mampu memaparkan sejumlah peran pelaku tentang apa yang ada dalam benak pelaku uatama maupun pelaku lainnya, baik secara fisik maupun psikologis; pengarang sering menyebut dirinya dengan aku, saya, nama pengarang sendiri;
  2. Narrator observer,  adalah  bila  pengisah  hanya  berfungsi  sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas  tertentu  tentang  perilaku  batiniah  para  pelaku;  pengarang menyebutkan nama pelakunya dengan  ia, dia, nama-nama lain, dan
  3. mereka.
  4. Narrator observer omniscient,  ialah  meskipun  pengarang  hanya menjadi pengamat dari pelaku, juga merupakan pengisah atau penutur yang serba tahu, meskipun menyebut nama pelaku dengan is, mereka, dan dia. Hal ini mungkin saja terjadi karena pengarang prosa fiksi adalah juga merupakan pencipta dari para pelakunya.
  5. Narrator the third person omniscient, ialah pengarang mungkin saja hadir di dalam cerita yang diciptakannya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini, sebagai pelaku ketiga pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, saya, atau aku.

Luxemberg, et al (1987) menjelaskan bahwa adakalanya suatu cerita secara berturut-turut menampilkan berbagai pencerita atau pengisah. Perkataan seorang dengan yang lain saling bergantian sehingga keseluruhan penuturan mereka membentuk cerita besarnya. Dalam hal ini kedudukan semua pencerita sederajat. Sehingga tepatlah kalau Luxemburg, et al mengatakan bahwa setiap cerita  mana  pun,  pastilah  ada  penceritanya.  Kadang-kadang  ia memperkenalkan diri, kadang-kadang kehadirannya harus kita simpulkan saja dari kenyataan bahwa cerita iru diceritakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa titik pandang oleh seorang pengarang dapat berganti sesuai dengan penceritaan yang dikisahkan oleh pengarang itu sendiri.

6. Tema

Scharbach  dalam (Aminuddin, 2002) menjelaskan tema sebagai sebuah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkannya sehingga pembaca mudah memahami tema pada saat membaca atau selesai membacanya.

Pradotokusumo (1992) mengemukakan pengertian tema dipandang dari  sudut cerita narasi (Novel/cerpen) dalam dua makna, yakni: 1) tema adalah gagasan sentral atau gagasan yang dominant di dalam suatu karya sastra; 2) pesan atau nilai moral yang terdapat secara implicit di dalam karya seni. Batasan yang kedua ini lebih mengacu pada batasan amanat.

Untuk  dapat  memahami  tema  dalam  suatu  cerita  secara  mudah, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut ini.

  1. Memahami setting dalam cerita fiksi yang dibacanya;
  2. memahami penokohan dan perwatakan para pelaku;
  3. memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam karya fiksi yang dibacanya;
  4. memahami plot atau alur cerita yang dibacanya;
  5. menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita;
  6. menentukan  sikap  penyair  terhadap  pokok-pokok  pikiran  yang ditampilkannya;
  7. mengidentifikasi  tujuan  pengarang  memaparkan  ceritanya  dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya;
  8. menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar yang dipaparkan pengarangnya.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *