PEMBERONTAKAN MELAWAN ADAT

Pemberontakan Perempuan Melawan Tatanan Adat: Dalam novel Tarian Bumi

Pendahuluan

Feminis berbeda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan ketidakadilan gender.

Sedangkan feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang selama ini dinilai tidak adil. Perempuan dalam feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam Arivia (2003: 13) Mary Wollstonecraft (1759–1797) yang menulis a Vindication Right of Woman pada tahun 1792 adalah feminis pertama yang menuduh bahwa pembodohan terhadap perempuan terjadi  bukan karena sesuatu yang alamiah, melainkan adanya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tersubordinasi.

Novel Tarian Bumi berisi pertentangan kelas, seperti pertentangan perempuan yang berkasta Sudra dengan perempuan yang berkasta Brahmana. Tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi digambarkan sangat kuat dan memiliki persoalan ekonomi yang menjadi latar belakang konflik. Adanya dominasi tokoh tua terhadap tokoh muda membentuk tokoh utama yang menggambarkan realitas perempuan yang tidak mudah menyerah.

Identifikasi terhadap tokoh profeminis ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah analisis terhadap tokoh-tokoh profeminis melalui tindakan dan sikap yang mencerminkan feminisme. Bagian kedua adalah analisis terhadap ketertindasan tokoh-tokoh perempuan dalam Tarian Bumi. Bagian ketiga adalah analisa terhadap latar budaya Bali yang mendukung penyebutan tokoh sebagai tokoh profeminis.

Tokoh-tokoh profeminis

Telaga

Tokoh utama pertama yang teridentifikasi sebagai tokoh profeminis yang dominan dalam cerita adalah Telaga. Hal itu dikarenakan perubahan seiring pendewasaan yang dialami Telaga. Perubahan yang dimaksud di sini adalah pola pikir tokoh atau individu yang secara terang-terangan memberontak pada kebudayaan Bali, dan perlahan berani melawan ibunya yang selalu menentang, mengendalikan, dan menekan Telaga dengan berbagai aturan kaum bangsawan yang dirasa Telaga sangat menyesakkan dirinya. Hal ini disebabkan semakin ia beranjak dewasa, Telaga mulai mengamati sekelilingnya dan semakin merasa bahwa ini semua seperti kemunafikan yang harus ia lalui dan dijalani selama ia berada di dalamnya.

Kata nenek, tidak pantas ibu berlaku seperti itu. Seorang perempuan bangsawan harus bisa mengontrol emosi. Harus menunjukan keibawaan. Ketenangan. Dengan menunjukan hal-hal itu berarti ibu sudah bisa menghargai suaminya. Telaga tidak pernah paham berapa aturan lagi yang harus dipelajari ibu agar diterima sebagai bangsawan sejati. Hampir dua puluh tahun tidak ada habis-habisnya!. (TB: 63)

Inikah artinya menjadi perempuan? Telaga ingin bicara dengan perempuan tua yang melahirkan ayah. Bicara dari hati ke hati. Bicara tentang makna keperempuanan, hakekatnya. Dan Telaga ingin perempuan yang terlihat agung dan berwibawa itu mampu memberi jawaban jelas. Apa arti menjadi perempuan Brahmana? Seperti apa impian pada cucu satu-satunya ini?. (TB: 63–64)

Hal di atas telah menyiratkan jeritan hati Telaga yang terus berpikir, mengapa begitu banyak hal yang harus dilakukan oleh perempuan. Telaga harus menjalani setiap pakem adat bangsawan yang menurutnya tidak pantas, bahkan sangat berlebihan untuk dijalani oleh seorang perempuan yang pada hakikatnya juga seorang manusia yang ingin hidup bebas tanpa ikatan aturan yang membatasi ruang gerak seorang perempuan seutuhnya.

Telaga merasa sudah cukup dewasa untuk menolak keinginan-keinginan ibunya. Makin hari perempuan itu makin menjerat dan mengikatnya erat-erat. Perempuan itu juga tidak membiarkan Telaga berpikir untuk hidupnya sendiri. Apapun harus selalu di bawah penguasaannya dan berdasarkan keinginannya. (TB: 110)

“Apa meme tahu tentang laki-laki itu? Apa?”. Telaga menantang mata ibunya. Kali ini dia harus berani melawan, karena ibunyasangat memaksa agar Telaga mau keluar dengan laki-laki itu. Dari matanya Telaga tahu, laki-laki yang selalu bermanis-manis dengan ibunya itu akan melahap tubuh Telaga tanpa sisa, lalu membuangnya kekeranjang sampah. Tidak! Telaga tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuh satu helaipun rambutnya. (TB: 123)

Keberanian Telaga menentang ibunya, menunjukkan tindakan feminisme bahwa ia bukan orang yang mudah menerima keadaan, melainkan  dapat menentukan sesuatu yang baik dan buruk bagi dirinya dan orang lain. Telaga merupakan tokoh profeminis, yaitu tokoh yang memperjuangkan cita-cita feminisme.

Yang dimaksud cita-cita feminisme pada kehidupan Telaga adalah perjuangan hidupnya menghadapi segala perubahan hidup. Telaga hidup serba berlebih, tetapi saat tujuan hidupnya terealisasi, yakni menikah dengan Wayan seorang laki-laki sudra, kasta terendah hidupnya berubah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara, oleh ibu mertuanya, Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan Brahmana dalam keluarga Sudra diyakini hanya akan membawa sial. Akan tetapi Telaga tetap teguh pada pendirian dengan terus membuktikan pada dunia bahwa ia bisa menjalani kehidupan yang baru yang jauh dari kemewahan, tetapi hati yang bahagia yang tidak ternilai harganya dapat ia raih dan menjadi miliknya yang berharga.

Telaga merasa orang-orang selalu lebih tahu daripada dirinya sendiri. Padahal mereka sama sekali tidak tahu bagaimana perasaan Telaga ketika kawin dan hidup sebagai perempuan sudra untuk yang pertama kalinya. Wayan hanya bisa membelikan kebaya dan kain yang kasar. Telaga benar-benar melatih diri untuk menanggalkan seluruh busana kebangsawanannya. Semua untuk cinta, untuk perhatian, untuk kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari laki-laki. (TB: 149)

“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu. Aku harus menjadi aktor yang baik dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” (TB: 222)

Tindakan Telaga ini berhasil dengan jelas melukiskan dependensi struktural atau pertentangan kelas antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarkhi yang melahirkan relasi gender yang timpang melalui pengkotak-kotakan kelas sosial pada kebudayaan Bali yang mengungkung Telaga. Akan tetapi, dengan segala tindakan feminis yang Telaga lakukan, ia berhasil keluar dari kungkungan peraturan kaum bangsawan yang berbandig terbalik dengan hatinya.

Telaga tetap pada pendiriannya, yakni menikahi Wayan, Telaga membuktikan bahwa ia-lah yang memilih siapa yang akan menjadi suaminya, bukan sistem atau adat. Meskipun demikian, ia harus melepas semua gelar kebangsawananya.

“Hari ini juga tiang akan meninggalkan nama Ida Ayu. Tiang akan jadi perempuan Sudra yang utuh” (TB: 220).

Secara keseluruhan pemberontakan Telaga mengacu pada perwujudan feminisme mulikultural dengan melakukan perlawanan terhadap hal-hal yang menindas perempuan sebagaimana yang dituliskan pada buku filsafat berperspektif feminis oleh Arivia, (2003: 132). Ketertindasan perempuan terjadi bergantung dari kelas dan ras, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan sebagainya.

Selain feminisme multikultural, Telaga juga mengaktualisasikan tindakan feminisme radikal. Hal itu dikarenakan pada prinsipnya penindasan terhadap perempuan yang utama terjadi karena patriarki, yang beroprasi baik pada level keluarga dan pada harapan wajib pada level budaya. Maksudnya, keluarga yang heteroksis adalah sumber utama penindasan terhadap perempuan. Akan tetapi Telaga berhasil menentang hal itu semua dengan menghempas aturan keluarga yang dinilai salah dan tidak sesuai dengan hak sebagai seorang perempuan seutuhnya.

Luh Sekar

Tokoh berikutnya yang juga banyak melakukan tindakan feminisme adalah Sekar atau ibunda Telaga. tokoh perempuan yang juga teridentifikasi sebagai tokoh tambahan utama ini, sejak awal kemunculannya Sekar selalu digambarkan sebagai tokoh yang penuh denga ambisi untuk menjadi lebih, dalam segala hal. Setelah keinginan itu terkabul, ia selalu punya keinginan baru, Sekar memang memang menyadari hal itu. Sejak muda dia juga ingin kawin dengan laki-laki Brahmana. Dia ingin membangun dinasti baru. Dinasti yang lebih terhormat. (TB: 60)

Seorang perempuan kuat yang tidak pernah menyerah dalam merealisasikan mimpi-mimpinnya dari ambisi untuk menjadi penari joged sampai  dengan tujuannya menjadi orang yang lebih terpandang dalam strata sosial, melalui pernikahan dengan pria dari kalangan bangsawan.

“Apapun yang terjadi dalam hidupku, aku harus menjadi seorang rabi, seorang istri bangsawan. Kalau aku tak menemukan laki-laki itu, aku tidak akan pernah menikah!” suara Luh Sekar terdengar penuh keseriusan. (TB: 22)

“Tapi aku tidak akan pernah mau menyerah. Aku harus menjadi penari joged. Aku ingin memakai busana tari itu, Kenten, busana yang bagiku sangat cantik. Memakai kain dengan motif tradisional, memakai kebaya, selendang dan gelung jogged itu. Apalagi bunga cempaka yang menghias gelung itu. Bunga itu tetap abadi karena terbuat dari kayu. Joged tari pergaulan, Kenten, aku bebas menari dengan gaya apa pun. Aku ingin membakar seluruh mata yang melihatku menari, menurutmu keinginanku berlebihan?”. (TB: 37)

Ambisi-ambisi perempuan Bali sangat patut dibanggakan karena menurut perspektifnya, tidak ada yang dapat mengubah nasibnya, selain dirinya sendiri. Aktualisasi feminisme pada hidupnya dirasakan sangat kental dan mengarah pada feminisme liberal. Karena pada prinsip dan tujuannya, feminisme liberal menghendaki seorang perempuan agar sama atau sederajat dengan kedudukan laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme  untuk mencapai tujuan persamaan hak dan kepentingan mereka mencakup beberapa cara. Salah satu cara yang diambil adalah dengan menjadi seseorang yang dapat didengar dan dipertimbangkan oleh orang banyak. Akhirnya hal ini tercermin melalui ucapan dan semua tingkah Sekar yang ingin dapat mengambil keputusan untuk orang banyak.

“Dengar baik-baik. Untuk mewujudkan keinginan itu kita harus yakin bahwa kita sungguh-sungguh menginginkannya. Aku marah, Kenten, marah sekali! Tidakkah para tetua adat desa ini menyadari bahwa aku layak menjadi penari?. Aku layak menjadi perempuan terhormat. Kau harus yakin bahwa keinginanku akan terkabul. Kalau kau yakin, dewa-dewa pasti akan menolong kita. Ayo Kenten, konsentrasilah. Demi aku. Aku capek menjadi orang melarat. Aku capek melihat keluargaku tersisih. Sakit, sakit sekali menjadi orang seperti aku. Aku ingin menjadi orang nomer satu. Perempuan yang pantas mengambil keputusan untuk orang banyak. (TB: 39–40)

Aku ingin  menaklikan hidupku. Hidup bagiku adalah pertarungan yang tidak pernah selesai. Tidak akan pernah habis selama aku masih hidup. Aku harus jadi pemenang. Sebelum aku mengalahkan hidup, aku tidak ingin mati!. (TB: 43)

Keberaniannya melawan sang hidup dengan cara memperjuangkan apa pun untuk meraih impiannya telah membuatnya menjadi wanita kuat yang tahan akan tempaan hidup, sampai semuanya terwujud dan menjadikannya sebagai istri bangsawan dan menjadikan Sekar sebagai orang terpandang seperti apa yang diharapkannya. Berkaitan dengan hal ini Sekar dengan sadar juga telah mengoptimasi tindakan feminisme radikal, karena feminisme radikal menyalahkan dilema perempuan dalam patriarki, yang mereka yakini berasal dari keluarga dan dimana perempuan terjebak dalam peran tanggung jawab dan kewajiban mereka sehingga Sekar dapat menjadikan dirinya dapat mewujudkan segala keinginannya.

Betapa gila. Luh Sekar rela melakukan apa saja agar menjadi Jero Kenanga, perempuan terhormat. Perempuan paling cantik yang diakui bahwa kecantikannya yang luar biasa bisa membuatnya melakukan apa saja yang dia inginkan. (TB: 119)

Sagra Pidada

Tokoh tambahan utama berikutnya yang juga teridentifikasi melakukan tindakan feminisme adalah Sagra Pidada, nenek Telaga karena dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi yang mapan dan berasal dari keluarga yang terhormat. Karena Sagra sudah cukup umur dan belum mendapatkan pendamping hidup, ia dijodohkan dengan seorang laki-laki dari kalangan biasa. Lelaki itu berprestasi dan memiliki perilaku baik, sehingga dirasa pantas untuk mendampingi Sagra. Sagra melakukan tindakan feminis dengan menunjukan bahwa seorang perempuan juga mampu mengangkat derajat laki-laki atau suaminya. Hal itu membuat sang suami sangat menghormati dan menghargai istrinya.

Dia selalu menempatkan dirinya sebagai perempuan terhormat. Karena berkat dirinyalah kakek bisa mendapatkan jabatan seperti saat ini. Dulu dia juga memandang sebelah mata pada laki-laki itu, dan kakek tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Hormat pada nenek, hormat pada orang tua nenek. Dia juga menjalankan fungsinya dengan baik terhadap perempuan dengan baik. (TB: 16)

Sagra memiliki prinsip dalam hatinya mengenai pandangan hidup tentang cinta. Ia menunjukkan bahwa dalam memilih pasangan hidup itu harus didasari oleh keinginan hati dan bukan atas kehendak orang lain dan memastikan bahwa itu adalah rasa cinta bukan rasa kagum yang dapat lenyap dalam sesaat.

“Kelak kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kau simpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memiliki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahapan berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kau munculkan sendiri. Setelah itu endapkan! Biarkan ratusan-ratusan pertanyaan itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan , cinta dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin jangan coba-coba mengambil resiko.” (TB: 17–18)

Akibat rasa kecewaannya terhadap laki-laki, suami, dan anak laki-lakinya, Nenek Telaga mulai berpikir bahwa kebahagiaan sebenarnya bukan hanya terletak di tangan laki-laki. Sagra juga yang menanamkan pikiran pada Telaga bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada laki-laki saja, tetapi perempuan juga ikut menentukan kebahagiaan itu sendiri. Salah satunya adalah dengan cara memilih, bukan hanya dipilih, tindakan ini dengan jelas merupakan suatu gambaran yang mencerminkan feminisme liberal.

“Kelak kalau kau sudah mengenal laki-laki, kau harus Tanya dirimu sendiri. Apa dia pantas kau cintai. Apa perasaanmu sungguh-sungguh padanya. Harus bisa kau bedakan, jangan coba-coba memilih laki-laki untuk tempat bergantung. (TB: 111)

Sagra juga menunjukan dominasi dalam rumah tangga yang diarungi bersama suaminya.

Memang nenek bisa mengatur keluarga. Bahkan Ida Bagus Tugur suaminya takkan berkutik hanya dengan batuk kecil. (TB: 64)

Luh Kenten

Tokoh perempuan lain yang merupakan tokoh tambahan dalam novel karya Oka Rusmini yang melakukan tindakan feminisme adalah Luh Kenten, teman Luh Sekar. Sosok Kenten menggambarkan perempuan yang berbeda. Ia memiliki tenaga kuat, bekerja sendiri, dan tidak pernah merasa butuh laki-laki.

Semua orang di desa ini tahu, Luh Kenten perempuan keras kepala. Perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Tubuhnya sangat kuat dan tegas. Tak ada seorang pun yang berani berkata-kata kasar dan tidak pantas padanya. (TB: 36)

Lewat tokoh Luh Kenten yang hanya membenci laki-laki dan mencintai perempuan, Oka Rusmini menawarkan sebuah pemberontakan dari sistem patriarki, sistem laki-laki yang membuat perempuan menderita.

“Aku tidak akan kawin, meme. Aku tidak ingin mereka bohongi. Aku benci seluruh laki-laki yang membicarakan perempuan dengan cara tidak terhormat!”

“Apa maksudmu?! Kau tidak boleh memaki seperti itu. Kau harus menghargai mereka!”

“Mereka tidak pernah menghargai perempuan, meme.”

“Luh salah mengerti.”

“Tidak. Setiap hari aku saksikan sendiri kegiatan mereka. Minum kopi sampai siang, sore hari metajen, sabung ayam. Malamnya mereka bebas istirahat ditemani istri. Nikmat sekali hidup mereka!”

“Luh, jangan terlalu kasar. Suatu hari kau akan mencintai makhluk itu juga.”

“Tidak, meme. Tidak akan.”

“Kau membuat meme takut.”

“Kenapa?”

“Kata-katamu seperti perjanjian pada hidup.”

“Ya, meme. Ini aku ucapkan dengan kesungguhan. Aku akan buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki. Aku akan buktikan ucapan ini!” (TB: 34)

Luh Kenten selalu beranggapan bahwa perempuan jauh lebih berharga dibandingkan laki-laki. Oleh karena itulah ia tidak pernah merasa butuh laki-laki untuk menemani kehidupannya. Dia percaya perempuan adalah mahluk luar biasa, Buktinya, dalam tubuh perempuan ada susunan yang lebih rumit daripada laki-laki. Setiap lekuk tubuh perempuan menawarkan sensualitas yang luar biasa. Memiliki nilai-nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya.(TB: 42–43).

Bagi Kenten, tubuh perempuan adalah semesta yang sesungguhnya. Tanpa tubuh perempuan dalam kehidupan, bumi ini tidak memiliki roh. Alangkah dinginnya bumi kalau hanya berisi laki-laki. (TB: 30)

Pengarang melukiskan sosok Kenten seperti ini:

Semua orang di desa ini tahu, Luh Kenten perempuan keras kepala. Perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Tubuhnya sangat kuat dan tegap. Dia memiliki kecantikan yang khas. Keakraban Kenten dengan Sekar mengundang isu-isu yang terus berkembang di luar rumah.Isu yang tidak baik itu tergambar dalam sebuah bisik-bisik di warung yang sempat didengar sendiri oleh Kenten. Mereka menjalin cinta. Mengerikan. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia? Apa mereka melakukan persentuhan itu seperti aku melakukamnya dengan laki-lakiku? Atas gunjingan tersebut,Luh Kenten hanya bisa menarik napas dan bertanya pada dirinya sendiri. Dosakah dia kalau hanya bisa mencintai dan hanya tersentuh bila memandang tubuh perempuan?. (TB: 37)

Apakah Kenten seorang lesbian? tidak sekalipun istilah itu disebut dalam novel ini. Namun, jika merujuk pada pengertian lesbianisme yang diberikan oleh kritikus sastra feminis-lesbian, Lillian Faderman, dapat disimpulkan bahwa Kenten memang perempuan lesbian. Menurut Lillian, seperti dikutip Djajanegara dalam buku Kritik Sastra FeminisSebuah Pengantar (2000: 34), kata lesbian menggambarkan suatu hubungan di mana perasaan paling mendalam serta kasih sayang terjalin di antara dua perempuan. Hubungan seksual sedikit atau banyak mungkin terjadi di antara mereka atau mungkin sama sekali tidak terjadi. Kedua perempuan itu lebih suka menjalani hidup bersama dan berbagi pengalaman yang sama.

Luh Dalem

Tokoh tambahan berikutnya bernama Luh Dalem. Dalem adalah ibunda dari Luh Sekar yang sudah terbiasa hidup berkesusahan, tetapi Dalem adalah perempuan tegar yang tidak pernah mengeluh sedikitpun terhadap ketidakadilan hidup yang telah digariskan untuknya.

”Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. …Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka.

Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (TB: 25)

Dalem merupakan gambaran perempuan Bali yang tegar dan tegas dalam menjalani hidup. Hal ini terbukti dan tergambar pada peristiwa saat ia melepas anak kesayangannya Sekar. Karena Sekar telah dipersunting oleh laki-laki dari kalangan bangsawan, dengan tegas dan gamblang Dalem memerintah anaknya agar tidak menjadi perempuan lemah dalam menghadapi kenyataan hidup meskipun dalam hatinya Dalem merasakan teramat berat melepas anak yang paling ia sayangi semasa hidupnya.

Pergilah! Kau jangan menangis. Jadilah perempuan baru. Perempuan yang memiliki harga diri, kekuasaan dan impian besar. Jangan menangis! Aku tak pernah mendidikmu jadi perempuan cengeng!. “suara perempuan yang teramat dicintai sekar itu terdengar tegas. Sekar tau persis, tak ada seorangpun yang bisa membelokan pikiran dan perkataannya. (TB: 58)

Sosok Dalem digambarkan tidak pernah mengeluh, walaupun merasakan deraan hidup yang kian berat. Dia merupakan tokoh profeminis sejati dalam novel ini. Walaupun hidup yang dia jalani tanpa suami, ia menunjukan bahwa dirinya dapat hidup dan bertahan.

Seringkali hidup seperti mengejar meme dengan ganasnya. Hidup juga serig menjebak meme. Rasanya meme ingin main kucing-kucingan dengan hidup meme. Itu indahnya. Itu kesenian paling tinggi dalam peradaban manusia.

Kata-kata Luh Dalem adalah kata-kata seorang perempuan yang tidak pernah mengeluh pada hidup. Dia berusaha meyakinkan diri, bahwa dia bisa mengatasi semua persoalan yang ditawarkan hidup. Perempuan itu justru tersenyum kalau dilihatnya hidup menuntutnya terlalu banyak. Salah satunya adalah kelahiran kedua orang anak yang tidak pernah dia inginkan. (TB: 81)

Setiap pandangan hidup dan tingkah laku Dalem mewujudkan pemikiran feminisme Marxis yang menunjukan bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran diri perempuan tidak dapat membentuk dirinya sendiri bila secara sosial dan ekonomi ia masih bergantung pada laki-laki. Oleh karena pandangan itu, dapat disimpulkan pilihan Dalem sebagai perempuan mandiri tanpa suami yang ia jalani itu patut dibanggakan dan mendapat tempat sebagai profeminis Marxis dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

Luh Kambren

Tokoh tambahan  lain dalam Tarian Bumi yang terindentifikasi melakukan tindakan feminisme adalah Luh Kambren, seorang guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa yang ditunjuk oleh ibunda telaga untuk melatih telaga menari. Kambren adalah seorang wanita mandiri yang hidup tanpa laki-laki dan berpenghasilan dengan menjadi pengajar tari serta menghabiskan hidupnya mengabdi untuk menari. Jiwa feminisme tercermin melalui percakapannya dengan Telaga mengenai perempuan Bali.

“ Tugeg, Tugeg harus catat kata-kata tiang ini. Bagi perempuan Bali bekerja adalah membuat sesaji, sembahyang, dan menari untuk upacara. Itu yang membuat kesenian ini tetap bertahan. Orang-orang dulu tidak membedakan mana aktivitasnya sebagai dirinya dan mana aktivitasnya dalam berkesenian. Mereka menari karena ada upacara-upacara di pura. Sekarang? Tidak lagi. Tiang dilahirkan untuk tetap menjaga taksu tari. Taksu yang mulai dirusak oleh orang-orang yang makan sekolahan terlalu kenyang. Mereka tidak tahu seperti apa inspirasi itu keluar dan mengganggu pikiran seorang pencipta tari. Mereka tinggal  menjualnya, mempertontonkan kita di hadapan orang-orang asing. Mereka tidak belajar dari orang-orang luar, bagaimana harus menyelamatkan  peninggalan peradaban yang sangat mahal ini. Peradaban yang tidak bisa dibeli dengan manusia sekalipun.” (TB: 92–93)

Kambren juga menggambarkan tindakan feminisme Marxsis lewat sikapnya yang secara terang-terangan menolak untuk dijadikan selir raja, hal itu dilakukan karena bertentangan dengan hatinya. Karena itulah, dia memilih untuk berbohong bahwa dia sebenarnya sudah tidur dengan banyak orang.

Orang-orang sering heran, alangkah beraninya perempuan itu menolak keinginan raja. Mereka juga heran Kambren menolak hidup mapan. Kenapa? Bukankah dengan menjadi seorang selir kehidupannya akan tejamin? Memiliki tanah berhektar-hektar, rumah besar, juga anak yg diakui kebangsawanannya oleh banyak orang. Bukankah itu sebuah prestasi untuk perempuan miskin seperti dirinya?

“Hidupku hanya untuk menari!” itulah kata-kata Kambren. Kata-kata yang selalu di ingat Telaga. (TB: 94)

Sikap feminisme lain Kambren yang tergambar dalam Tarian Bumi adalah ketika Dampar membela dan menjunjung tinggi martabat perempuan Bali dalam perbincangannya dengan wanita Belanda.

“Aku membenci mata laki-laki itu.kau lihat sendiri caranya menatap permpuan. Begitu tidak hormat. Katanya dia seorang seniman, pemuja keindahan. Keindahan seperti apa yang bisa dilahirkandari matanya?!”

“Kau belum mengenalnya.”

“Aku percaya dengan perasaanku. Dia bukan laki-laki yang baik!”

Luh jadi emosional.” Permpuan belanda itu menatap mata Luh Kambren. Bibirnya tersenyum.

“Bagi bangsamu mungkin bukan persoalan. Bagiku masih jadi masalah besar. Ini soal prinsip. Prinsip seorang permpuan!”

“Jangan tersinggung.”

“Aku tidak tersinggung. Aku bicara atas dasar pemikiranku sendiri. Aku seorang perempuan konvensional.” (TB: 98)

Luh Kambren juga merupakan sosok feminis yang berjiwa nasional. Dia juga bukan tipe orang yang naif . Dia adalah pelatih tari yang tersohor.

“Ini kenyataan. Tiang tidak pernah ingin jadi sejarah atau dicatat sebagai manusia yang kehidupannya yang mampu memberi sinar di tanah Bali ini. Tidak. Tiang tidak memerlukan itu”

“Lalu apa yang meme cari ?”

“Tiang ingin orang menghargai  apa yang telah tiang perbuat untuk tanah ini.” (TB: 106–107)

 Luh Gumbreg

Sikap feminisme terakhir yang teridentifikasi pada novel ini adalah sikap yang diurai oleh Luh Gumbreg. Tokoh tambahan yang tidak lain adalah ibu dari Wayan Sasmitha atau suami Telaga. Dia menunjukan sikap tidak senang dengan menantunya, yakni suami dari Sadri, anak kedua Gumbreg yang tidak mau berkerja apa-apa dan semuanya hanya mengandalkan Sadri, anaknya. Gumbreg menyayangkan sikap Putu Sarma yang hanya menjunjung tinggi harga diri.

“Sekarang meme harus memiliki menantu seperti Sarma. Laki-laki macam apa itu? Miskin tetapi tidak mau bekerja keras. Keras kepala, terlalu menjunjung tinggi harga diri, padahal tanggung jawabnya nol!”

“aku benci laki-laki yang hanya bisa menetek pada perempuan!”

“Dengar! Aku akan memberimu tanah 5 are kalau kau datang bersama laki-laki yang kau kawini itu. Jangan berharap aku akan memberi satu genggam tanahku untukmu kalau bukan laki-laki itu yang bicara padaku. Aku ingin lihat, laki-laki atau perempuankah dia! Tanah ini miliku, aku yang membuatnya ada. Di tanah ini seluruh keringat ini tertanam. Kau pulang sekarang. Aku capek!” Gumbreg menatap mata Sadri. (TB: 162–163)

Sikap acuh Gumbreg terhadap menantunya ini juga dengan jelas menggambarkan feminisme Marxis yang memandang sebelah mata terhadap ketergantungan terhadap lelaki. Ironisnya hal ini ia rasakan pada menantunya yang juga seorang laki-laki. Bukan main benci dan kecewanya Gumbreg terhadap menantunya itu.

Seluruh tindakan feminisme yang terdapat pada novel Tarian Bumi adalah gambaran masyarakat Bali, masyarakat eksotis yang banyak diperbincangkan di seluruh dunia yang terkenal akan keindahan alamnya yang begitu cantik. Pulau Bali dihuni oleh perempuan-perempuan tangguh dan luar biasa dalam mengambil keputusan walaupun banyak yang dipertaruhkan dalam tindakan itu.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *