PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM TATA NASKAH DINAS

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
DALAM TATA NASKAH DINAS*

Arju Susanto, S.S; M.Pd.

Surat Dinas, Tata Naskah Dinas, dan Bahasa Indonesia (BI)
yang Baik dan Benar

Yang dimaksud dengan naskah dinas adalah semua informasi tertulis sebagai alat komunikasi kedinasan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan; tata naskah dinas adalah pengelolaan informasi tertulis (naskah) yang mencakupi pengaturan jenis, format, penyiapan, pengamanan, pengabsahan, distribusi dan penyimpanan, serta media yang digunakan dalam komunikasi kedinasan (Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor Kep/72/M.PAN/7/2003).

Dengan mengacu fungsi-fungsi BI sebagai bahasa negara di atas, bahasa yang
berfungsi dalam penulisan naskah dinas adalah BI yang baik dan benar. Pengertian BI yang baik dan benar tidak dapat dipisahkan; keduanya ibarat sisi mata uang; BI adalah ragam BI yang sesuai dengan tuntutan konteks dan situasi komunikasi (keperluan/ kepentingan komunikasi); BI yang benar adalah yang sesuai dengan sistem/kaidah bahasa yang baku. Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku itu tampak pada aspek berikut:
(1) ketepatan gramatika (ketatabahasaan):
(a) ketepatan struktur kalimat;
(b) ketepatan pembentukan kata;
(2) kecermatan pilihan kata:
(a) penggunaan kata yang tepat;
(b) menghindarkan unsur yang mubazir;
(3) ketepatan makna;
(4) ketepatan penulisan (pemakaian/penerapan kaidah EYD).

Keadaan Kebahasaan di Indonesia dan Kendalanya

Dengan kedudukan bahasa Indonesia yang istimewa, yaitu sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara, warga masyarakat Indonesia, baik secara perseorangan (individual) maupun secara kemasyarakatan (sosietal), merupakan warga masyarakat yang bilingual/multilingual. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia juga tergolong ke dalam yang disebut masyarakat diglosik dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme, termasuk di Indonesia..
Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke takresmi; dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat.
Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional. Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya di Indonesia, berupa leksikalisasi/terminologi. Di India terdapat campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang disebut Hinglish; di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebut Taglish atau hula-hula atau mix-mix; di Hongkong pembauran antara bahasa Cina dan Inggris yang disebut Cinglish; di Malaysia pembauran kode antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture. Di Indonesia campur kode BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado atau Indoglish.
Interferensi (pengacauan) terjadi sebagai akibat dari adanya kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/ multilingual, yaitu perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur bahasa: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.
Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Kenyataan menunjukkan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah penggunaan. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia. Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam atau bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam tinggi, seperti di ranah pekerjaan, sekolah/kampus, radio, televisi, atau media yang lain. Dengan kata lain, bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam penggunaan bahasa.
Sebagaimana diketahui, berkomunikasi dengan bahasa dalam masyarakat yang amat heterogen (multietnik, multikultur, multibahasa/bilingual/multilingual, dsb.) seperti Indonesia ini, sekurang-kurangnya, menuntut hadirnya unsur-unsur komunikasi yang lain, seperti partisipannya (komunikan/komunikatornya): siapa berbicara, kepada siapa/lawan bicara (dengan identitasnya yang jelas, seperti status dan peran, lapisan sosial, usia, pendidikan, pangkat/jabatan, gender, etnisitas), tentang apa (topik pembicaraan: derajat keresmiannya), di mana, dan dengan bahasa yang mana (BI resmi/takresmi, bahasa asing/BA, ataukah bahasa daerah/BD).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa unsur-unsur komunikasi dikemukakan di atas menjadi kendala yang menentukan penggunaan/pemilihan bahasa dalam naskah dinas, khususnya surat dinas. Contoh yang paling sederhana (yang ternyata tidak sederhana) adalah penggunaan kata penyapa yang tidak mustahil menuntut kernyitan dahi konseptor karena terpikir akan tepat atau tidaknya, santun atau tidaknya atas pilihannya. Tidak jarang (karena tidak mau pusing) konseptor memborong semua kata penyapa yang lazim digunakan, seperti Bpk/Ibu/Sdr./-i, dan dengan tanpa beban, surat itu ditandatangani oleh si pengirimnya; ia pun tidak peduli siapa yang dikirimi surat itu sekalipun pokok suratnya menyatakan permintaan bantuan. Padahal, menurut tata bahasa baku, BI tidak membedakan gender/jenis kelamin melalui perubahan -a menjadi –i , seperti Saudara dan Saudari, analog dari kata dewa-dewi (dari bahasa Sanskerta). Dengan kata lain, kita tidak mengembangkan sistem pemarkah gender melalui perubahan huruf –a menjadi –i.
Contoh lainnya adalah bahwa berkomunikasi dengan BI. dalam aneka jenis naskah dinas ternyata menuntut unsur kebahasaan yang tidak sama benar: struktur kalimat pada alinea pembuka, alinea isi, atau alinea penutup surat untuk jenis naskah dinas korespondensi, seperti surat permohonan/permintaan, surat pemberitahuan, dan surat pernyataan atau surat penjelasan tidak sama benar. Demikian pula tuntutan kebahasaan untuk komunikasi dengan jenis naskah dinas arahan, seperti surat pengaturan, penetapan, atau penugasan; unsur-unsur ketatabahasaan, khususnya variasi kalimatnya serta pemilihan kata/diksinya, tidak sama benar.
Telitian tentang kondisi kebahasaan dalam surat dinas, khususnya jika dipandang dari derajat kebakuannya, juga memperlihatkan bahwa kualitas BI, khususnya ketatabahasaan serta penulisannya, belum memenuhi kaidah yang baik dan benar. Permasalahannya, seperti telah dikemukakan, antara lain, berkaitan dengan masalah bilingualisme; kadar bilingualitas para pengonsep surat dinas belum imbang; penguasaan terhadap sistem bahasa ibu/BD (seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa Melayu) dan BA (seperti bahasa Inggris) lebih baik daripada penguasaan atas sistem BI resmi/baku. Ini dapat ditandai dari kasus tingginya ikatan emosi kultur bahasa ibu konseptor terhadap ragam BI dan pengaruh BA terhadap struktur kalimat dan kosakata/istilah bahasa surat dinas. (Lihat contoh kasus.)
Selain hal-hal dikemukakan di atas, permasalahan sikap penutur terhadap BI, khususnya pengonsep surat dinas serta figur yang menandatangani surat tersebut, juga menambah kenyataan terhadap sulitnya mencapai kualitas laras bahasa surat dinas. Telitian menunjukkan bahwa sikap pengonsep surat yang belum pernah mengikuti penataran kebahasaan, khususnya bahasa surat dinas, cenderung keadaan kebahasaan masyarakat kita yang bilingualisme dan diglosia tersebut. Bahkan, medium lisan dan tulis cenderung dianggap sama. Padahal, keduanya tidak sama benar: bahasa Indonesia lisan berurusan dengan unsur lafal, sedangkan bahasa Indonesia tulis dengan ejaan. Unsur lainnya, yakni ketatabahasaan (kosakata, bentuk kata, struktur kalimat, dan paragraf/alinea) tampil secara eksplisit manakala ditautkan dengan tuntutan konteks dan situasi pemakaian bahasa yang resmi. Dengan kata lain, konteks dan situasi pemakaian bahasa resmi menuntut pemilihan ragam bahasa Indonesia lisan atau tulis yang resmi pula.
Variasi kalimat rancu juga amat tinggi pemakaiannya, di samping yang berstruktur kalimat bahasa asing. Demikian pula, kesatuan dan kepautan paragraf yang membangun wacana surat dinas cenderung kurang terjaga; pemilihan konjungtornya cenderung luncas. Lain halnya pula halnya dengan pengonsep surat dinas yang pernah mengikuti penataran atau penyegaran tentang kebahasaan. Pada umumnya, mereka merasa prihatin dan merasa kurang kuat relevansinya mengikuti penyegaran atau penataran sejenis itu karena setelah mereka balik ke institusinya masing-masing, atasan-atasan mereka cenderung tidak suka membaca konsep surat atau menandatangani surat yang telah ditingkatkan mutu bahasanya sebagai produk penataran; katannya, “Pake saja yang umum,” atau “Ini gaya bahasa saya.” Dengan kata lain, model juga amat langka, baik model yang memperlihatkan kemampuan maupun model yang menunjukkan kemauan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Di samping permasalahan bahasa di atas, bentuk dan tipografi surat dinas juga menuntut perhatian. Setakat ini para konseptor kurang memberdayakan acuan terbitan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 72/Kep/M.PAN/07/ 2003 (revisian terbitan tahun 1976), atau, sekurang-kurangnya, acuan terbitan departemennya masing-masing yang merupakan jabaran/implementasi dari pedoman produk Menpan tersebut.

Penggunaan dan Pengguna Bahasa (Register) serta Ciri-Cirinya
Istilah penggunaan/pemakaian bahasa mengacu ke satu dimensi yang dipakai untuk membedakan ragam-ragam bahasa. Bahasa dibedakan menurut (1) penggunaan dan (2) penggunanya, yaitu siapa yang menggunakan bahasa itu. Sehubungan dengan penggunaannya, ragam bahasa dibedakan atas tiga subdimensi:
(1) bidang/field, tentang apa bahasa itu digunakan;
(2) cara/mode, yakni medium apa yang digunakan: lisan ataukah tulis;
(3) tenor, yang mengacu ke hubungan peran antarpartisipan yang terlibat.
Karena hubungan peran menentukan derajat keresmian bahasa yang dipakai oleh partisipan-partisipan itu, tenor dapat dipandang sebagai penentu tingkat keresmian situasi dan karena itu, tenor mengacu ke derajat keresmian bahasa yang dipakai di dalam situasi yang ada. Dalam hal ini tenor dilihat sebagai yang mengacu ke ragam-ragam bahasa menurut derajat keresmiannya. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, dikenal lima ragam gaya keresmian berbahasa, yaitu ragam beku /frozen; ragam resmi/formal; ragam konsultatif/ consultative, ragam santai/casual, dan ragam akrab/intimate.
Perpaduan atau sinergi dari ketiga dimensi tersebut (bidang, cara, dan tenor) membentuk apa yang disebut laras bahasa (register), yaitu ragam bahasa atau variasi bahasa yang dibeda-bedakan menurut
(1) bidang wacananya (menurut pokok pembicaraan);
(2) mediumnya (tulis atau lisan);
(3) tenornya (ragam gaya resmi ataukah santai, dsb.)’
Pembeda antara laras bahasa yang satu dan laras bahasa yang lain ditandai oleh (1) penggunaan kosa kata dan peristilahan, (2) struktur kalimat, dan pelafalan–kalau mediumnya lisan.
Dengan mengacu konsep dikemukakan di atas, bahasa di bidang kelilmuan, misalnya, tergolong ke dalam laras bahasa/register keilmuan; demikian pula halnya dengan bidang jurnalistik, di bidang administrasi perkantoran, di bidang hukum, dan politik. Akan tetapi, secara umum, pengguna bahasa itu adalah anggota masyarakat bahasa itu. Karena mereka itu terdiri dari kelompok-kelompok sosial, pengguna bahasa pada dasarnya adalah anggota setiap kelompok masyarakat yang ada. Dengan bergantung kepada dimensinya, pengguna bahasa dapat berupa anggota
(1) kaum lelaki/kaum perempuan,
(2) kelompok pendidikan tertentu,
(3) kelas sosial yang ada,
(4) profesi tertentu (seperti guru, jurnalis, polititisi, atau akademisi),
(5) daerah geografis tertentu,
(6) kelompok umur tertentu,
(7) (keanggotaan) mereka pada kasta tertentu,
(8) etnik tertentu,
(9) domisili pengguna bahasa (di pedesaan ataukah di kota), dan sebagainya karena
pengertian penggunaan bahasa memang luas sekali. Sesuai dengan tujuan pertemuan ini, penggunaan bahasa dalam naskah dinas adalah salah satu contoh laras bahasa/register.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan et al. 1993. Tata Bahasa Baku BI
——–.1993. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. .
Keraf, Gorijs. 1993. Diksi dan Makna Ende: PT Nusa Indah.
Lumintaintang, Yayah B. 1992. “Petunjuk Praktis Penysusunan Surat-Menyurat
bagi Konseptor Pemda DKI Jakarta”. Jakarta: Pusat Bahasa.
———-.2003.”Mekanisme dan Aplikasi Penggunaan BI yang Baik dan Benar
dalam Penyusunan Tata Naskah Dinas”. Jakarta: Pusat Bahasa .
———–. 2003. “Pemakaian Bahasa dalam Administrasi Perkantoran”. Jakarta:
Pusat Bahasa.
———-.2005. “Kebijakan Bahasa”. Jakarta: Pusat Bahasa.
Pusat Bahasa. 1990. Pedoman Umum EYD. Jakarta: Pusat Bahasa.
————. 1990. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *