MATERI 9

Bahan Presentasi : Sosiologi Pertemuan 9

A. Pengertian

Kata mobilitas berasal dari bahasa Latin mobilis yang artinya mudah dipindahkan atau banyak gerak. Kata sosial yang melekat pada istilah mobilitas bermaksud menekankan bahwa istilah itu mengandung makna gerak dengan melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam masyarakat. Dengan demikian mobilitas sosial ialah suatu gerak perpindahan seseorang atau sekelompok warga dari status sosial yang satu ke status sosial yang lain. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.
Mobilitas sosial dapat diartikan gerakan sosial. Gerakan sosial yang menggunakan nada protes, penuh emosi, serta dengan kekerasan.lebih tepat disebut gerakan sosial (social movement).
Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup – seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta – maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

B. Jenis Mobilitas Sosial

 Mobilitas sosial vertikal ; perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat.
Sesuai dengan arahnya dikenal dua jenis mobilitas vertikal, yakni :
1. Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi.
2. Gerak sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain lebih rendah posisinya.

 Mobilitas sosial horizontal ; perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial yang horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya. Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela, tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa.

C. Saluran-saluran Mobilitas sosial vertikal (sirkulasi sosial)
a. Angkatan Bersenjata
b. Lembaga-lembaga pendidikan
c. Lembaga-lembaga keagamaan
d. Organisasi Politik
e. Organisasi Ekonomi

D. Determinan Mobilitas Sosial
Horton dan Hunt (1987) mencatat ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni :
1. Faktor struktrual ; yakni jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi seta kemudahan untuk memperolehnya. Contoh: ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari kerja.
2. Faktor individu ; kualitas orang per orang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, keterampilan pribadi, dan lain-lain-termasuk faktor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.

E. Konsekuensi Mobilitas Sosial
1. Konflik
Konflik ; suatu benturan antara berbagai nilai dan kepentingan tertentu.Benturan itu terjadi karena suatu masyarakat belum siap menerima perubahan yang dibawa oleh mobilitas sosial.

2. Penyesuaian
o perlakuan baru untuk masyarakat kelas sosial, kelompok sosial, atau generasi tertentu.
o Penerimaan individu atau sekelompok warga dalam kedudukannya yang baru
o Pergantian dominasi dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.

MATERI 10

Bahan Presentasi : Sosiologi Pertemuan 10

Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan suatu gejala yang akan selalu ada dalam masyarakat, karena masyarakat selalu berubah dalam aspek terkecil sekalipun. Perubahan sosial maupun perubahan budaya sebenarnya dua konsep yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain, di mana perubahan sosial mengacu pada perubahan struktur sosial dan hubungan sosial di masyarakat sedangkan perubahan budaya mengacu pada perubahan segi budaya di masyarakat. Tetapi perubahan pada hubungan sosial akan menimbulkan pula perubahan pada aspek nilai dan norma yang merupakan bagian dari perubahan budaya.

Terdapat berbagai teori yang dapat menjelaskan fenomena perubahan sosial di masyarakat. Tetapi semua teori itu sebenarnya saling mengisi satu sama lain, merupakan perbaikan ataupun juga memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami fenomena perubahan sosial.
Perubahan sosial dapat terjadi karena sebab internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan permasalahan yang timbul dalam diri masyarakat, sedangkan faktor eksternal mengacu pada sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat.

Proses Perubahan Sosial
yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya.

Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.
Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan.

Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural lag.

PERILAKU MANUSIA

Perilaku Manusia.
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi dan atau genetika.

Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam Sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalah-artikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. 

Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai control sosial Dalam kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penata-laksanaan yang holistik dan komprehensif.

Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku manusia.
# Genetika
# Sikap – adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu.
# Norma sosial – adalah pengaruh tekanan sosial .
# Kontrol perilaku pribadi – adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.
Ruang Lingkup.
Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku, yakni: kognitif, afektif dan psikomotor. . Kemudian dalam perkembangannya, domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom dibagi menjadi tiga tingkat:
• Pengetahuan(knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya.
• Sikap(attitude)
Sikap merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan factor pendapat dan emosi yang bersangkutan.

• Tindakan atau praktik (practice)
Tindakan ini merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki.
Selain itu, Skinner juga memaparkan definisi perilaku sebagai berikut perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Ia membedakan adanya dua bentuk tanggapan, yakni:
• Respondent response atau reflexive response, ialah tanggapan yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan yang semacam ini disebut eliciting stimuli karena menimbulkan tanggapan yang relatif tetap.
• Operant response atau instrumental response, adalah tanggapan yang timbul dan berkembangnya sebagai akibat oleh rangsangan tertentu, yang disebut reinforcing stimuli atau reinforcer. Rangsangan tersebut dapat memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, rangsangan yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah dilakukan.

KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIAL.

Kebudayaan dalam perspektif Teori Sosial.
Pengertian.

Istilah ‘kebudayaan’ yang penggunaannya sedemikian longgar, serta pengertiannya pun sedemikian berganda (ambiguous). Mulai untuk cakupan pengertian yang sempit hingga cakupan yang sangat luar biasa luas. Luas cakupan itu tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, namun juga dalam wacana ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial. Kata ‘kebudayaan’ berasal dari bahasa sanksekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti akal atau budi. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan sendiri di dalam wacana ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan upaya mencari padanan kata culture dalam bahasa Inggris. Sedangkan ‘culture’ adalah berasal dari bahasa Latin yaitu ‘colere’ yang berarti bercocok tanam. ‘Culture‘ diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam. Hingga kinipun kata ‘culture’ tetap juga digunakan dalam dunia pertanian, misalnya ‘agriculture’ untuk menyebut ilmu-ilmu pertanian, ‘monoculture’ untuk menyebut pertanian yang terdiri dari satu jenis tanaman.

Penggunaan kata ‘culture’ yang semula berada di dunia pertanian itu lantas disublimasikan sehingga merambah ke dalam wilayah pengertian yang jauh lebih luas. Kenapa Hal itu bisa terjadi?. Tampaknya terkait dengan asal-mulanya perkembangan kebudayaan itu sendiri yang diduga pertama-tama berakar dari dunia pertanian. Realitas itu bisa dijelaskan dengan mengacu kepada teori sejarah ‘challenge and response’ dari Arnold Toynbee. Tantangan pertama yang menuntut respon manusia, yang memaksa manusia harus menggerakkan seluruh akal budinya adalah keharusan untuk mempertahankan hidup. Terutama harus makan. Manusia merespon tantangan itu dengan memuat ide, nilai, norma-norma dan peralatan-peralatan yang berkaitan dengan pertanian.

 Karena pertanianlah sebagai sumber mata pencaharian manusia. Jadi secara hipotetik, dapat dikatakan bahwa pertanian adalah awal manusia berbudaya.

Sebagai obyek studi, semula antropologilah yang dipandang sebagai ‘pemilik’ wilayah studi kebudayaan. Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi tampaknya tidak mungkin memonopoli bidang ini, sebab pada kenyatannya wilayah studi ini juga berhimpitan dengan kawasan studi disiplin ilmu yang lain. Sosiologi misalnya. Hal itu bisa dimaklumi lantaran manusia adalah ‘obyek materia’ dari semua disiplin ilmu sosial. Sekalipun sosiologi memusatkan perhatian terhadap masyarakat, namun disadari bahwa masyarakat itu menjadi ada lantaran adanya kebudayaan. Keduanya bukan hanya berkoeksistensi namun juga berintegrasi. Masyarakat memproduksi kebudayaan sekaligus sebagai pengguna kebudayaan itu untuk bereksistensi. Itulah sebabnya, dalam studi sosiologi samasekali tidak mungkin mengabaikan aspek kebudayaan. Pandangan semacam ini setidaknya dikemukakan oleh para penganut determinisme kebudayaan seperti antropolog Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski ketika menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan keberadaannya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.

Definisi klasik mengenai kebudayaan yang hingga kini menjadi sumber rujukan adalah dikemukakan oleh E.B. Tylor seorang antropolog terkemuka,

 dalam bukunya Primitive Culture, yang terbit tahun 1924:2 “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”

Dalam perpektif sosiologi, kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Alvin L. Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh oleh anggota-anggota suatu masyarakat.


Termasuk di dalam kebudayaan adalah: segala bentuk bangunan, peralatan, dan bentuk-bentuk pisik yang lain; di samping. teknik-teknik, lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok.

Definisi tersebut mewakili pandangan yang melihat kebudayaan sebagai pemilik wilayah cakupan yang amat luas sekaligus memandang kebudayaan sebagai system besar, fungsional dan menjadi penentu terhadap seluruh aspek kehidupan sosial. Di sini, kebudayaan mempunyai peluang besar untuk lebih bersifat massif. Kebudayaan adalah tercermin dalam realitas apa adanya di masyarakat. Sehingga kebudayaan adalah makna, nilai, adat, ide dan simbol yang relatif. Sedang kebudayaan dalam pengertian yang sempit, adalah ia memiliki kandungan spiritual dan intelektual yang tinggi. Karena itu ia menjadi elitis, adi luhung, berstandar tertinggi. Ia lebih merupakan suatu yang seharusnya. Kebudayaan dalam pengertian luas lebih mewakili pandangan bahwa kebudayaan itu adalah kenyataan obyektif. Sehingga kenyataan budaya itu bisa ditemukan di dalam institusi-institusi dan tradisi-tradisi. Sedang yang melihat kebudayaan dalam arti sempit mewakili pandangan bahwa bagaimanapun kebudayaan adalah merupakan kenyataan subyektif. Ia adalah produk dari tafsiran pribadi-pribadi. Bertrand lebih jauh mencoba memilah antara masyarakat dengan kebudayaan. Ia melukiskan bahwa masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang terorganisasi secara mantap untuk memelihara keadaan yang diperlukan untuk hidup bersama secara harmonis. Suatu masyarakat bisa berfungsi lantaran anggota-anggotanya menyepakati aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan dengan segala derivatnya inilah dalam pengetian yang lebih umum disebut kebudayaan suatu kelompok masyarakat.

Dengan demikian suatu kebudayaan tidak bisa eksis tanpa suatu masyarakat, begitu juga sebaliknya. Namun bagaimanapun, secara teoritis, evolusi budaya dapat dipelajari secara tersendiri (dalam antropologi) begitu pula perkembangan suatu masyarakat (dalam sosiologi).

BENTUK-BENTUK KEBUDAYAAN.

Sesungguhnya banyak cara untuk mengklasifikasikan kebudayaan. Di kalangan sosiolog umumnya sepakat bahwa kandungan kebudayaan pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua komponen yaitu material culture dan nonmaterial culture. Untuk istilah yang pertama tampaknya semuanya sepakat, sedangkan untuk yang kedua, ada pula yang menyebut immaterial culture. Bertrand memberi pengertian ‘material culture’, sebagai: “… a culture includes those things Which men have created and use which have a tangible forms” (jenis kebudayaan dimana orang telah menciptakan dan menggunakan ciptaannya itu untuk memiliki bentuk yang berwujud).

 Sedangkan ‘nonmaterial culture’ sebagai: “all those creations of man with he uses to explain and guide his actions, but with are not found except in his mind” (segala buatan manusia yang ia gunakan untuk menyatakan dan membimbing tindakannya, tetapi buatannya itu tidak bisa didapati kecuali di dalam pikirannya saja.

Adapun Selo Soemardjan, sosiolog paling terkemuka di Indonesia, merumuskan kebudayaan sebagai: “semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.” Karya menghasilkan ‘material culture’, sedangkan rasa dan cipta membuahkan ‘immaterial culture”. Rasa itu sendiri menghasilkan segala kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti yang luas; sedangkan cipta menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Bertitik tolak dari pembahasan singkat tersebut, patut dicurigai bahwa didalam kebudayaan terdapat adanya oposisi biner (binary oposition) sebagaimana pernah dituduhkan oleh antropolog strukturalis Levi-Strauss.

Jadi didalam kebudayaan itu ada unsur kontradiksi, yang menciptakan ketegangan-ketegangan kreatif. Dua ketegangan itu memiliki konsekuensi bahwa kebudayaan itu tidak pernah mandeg. Selalu melakukan rekonstruksi diri ataupun mendekonstruksi diri. Setidaknya ada lima oposisi biner didalam diri kebudayaan, yaitu: budaya material versus budaya immaterial, idea budaya versus realitas budaya, budaya seharusnya versus budaya senyatanya, budaya tinggi versus budaya rendahan, budaya elite versus budaya massa.

KARL MARX DAN MAX WEBER TENTANG DASAR KEBUDAYAAN.
Perdebatan dalam masalah yang paling fundamental mengenai kebudayaan berkembang dari Karl Marx dan Max Weber. Bagi Marx yang berpihak kepada faham materialistik dan strukturalistik, ide-ide kebudayaan dipandang sebagai produk dari hubungan-hubungan ekonomi. Sementara itu bagi Weber yang lebih berpihak pada faham konstruksianis melihat sebaliknya. Bahwa struktur ekonomi itu tidak lebih dari konsekuensi saja dari kebudayaan. Bagi Weber, sistem kebudayaan adalah otonom. Ia berevolusi sendiri tanpa terpengaruh oleh yang lain. Sebaliknya dalam pandangan Marx ide kebudayaan adalah didikte oleh keadaan materi tertentu dalam hal ini struktur ekonomi.
Secara sederhana, dan simplistis dua perbedaan itu bisa digambarkan sebagai berikut: bagi Marx, setelah di depannya ada kayu dan bahan-bahan lainnya ialah yang membuat munculnya ide membuat kursi.

 Jadi karena ada kayu maka kemudian muncul ide membikin kursi. Jika tidak ada kayu, ‘pasti’ tidak akan pernah muncul ide membuat kursi itu.

 Sedangkan bagi Weber, bermula ada ide membuat kursi, baru kemudian mencari-cari bahan untuk menuangkan ide tersebut. ‘Kebetulan’ di sana ada kayu. Maka kayu itu menjadi bermakna karena ada ide membuat kursi. Jika tidak ada ide itu, kayu akan tetap kayu, tidak akan pernah naik derajatnya menjadi kursi.
Dari dua perbedaan besar tersebut kemudian berkembang dua arus pemikiran yang disamping mendukung juga melakukan kritik dan merevisi. Dari Marx, muncul faham neomarxis antara lain Gramsci dan Lukacs. Sedangkan dari Weber muncul tokoh-tokoh konstruksionis kontemporer yaitu Habermas, Blias, dan Bourdieu.

GAGASAN DASAR CIVIL SOCIETY.

Latar Historis Civil Society.

Konsep masyarakat madani di Indonesia dan merupakan istilah temuan kontemporer sebagai terjemahan civil society. Oleh karena itu kajian masyarakat madani tidak bisa dipisahkan dari konsep civil society yang berkembang di barat. Asrofi S. Karni dalam hal ini mengakumulasikan civil society kedalam 5 model pemaknaan dengan konteks historis tempat pemikiran itu siterapkan.
Pertama, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan. Pemahaman demikian dikembangkan oleh Aristoteles (348-322 SM), Marcus Tillius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 SM) dan John Locke (1632-1704).

Kedua, civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat yang merupakan kebalikan dari masyarakat primitif/ barbar. Visi etis ini untuk memelihara tanggungjawab sosial yang terilhami oleh sentimen moral antar masyarakat secara alamiah. Konsep ini dikembangkan Adam Ferguson (1767) pada paruh kedua abad ke-18.

Ketiga, civil society dimaknai sebagai antitesis negara dan atau sebagai alat kotrol negara. Pemahaman ini dikembangkan oleh Thomas Paine (1792).

Keempat, civil society sebagai elemen ideologis kelas dominan yang dikembangkan oleh Hegel, Marx dan Gramsci.
Kelima, civil society dimaknai sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara yang bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik yang tinggi untuk menahan kecenderungan intervensi negara, bahkan menjadi sumber legitimasi negara dan mampu melahirkan kekuatan kritis reflektis (reflective force) untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat sebagai akibat reformasi sosial. Model ini dikembangkan oleh Alexis de’ Toqueville.

HAKEKAT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KONSEP CIVIL SOCIETY.

Hakekat Pemberdayaan Masyarakat.

Hakekat pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan citra negara yang demokratis, yang unsur-unsurnya antara lain:
1.    adanya kemauan politik dari negara (political will state)
2.    adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society)
3.    adanya civil society yang kuat, mandiri dan beradab.

Konsep Civil Society.
Pertamakali Konsep Civil Society, menurut para pakar ilmu-ilmu sosial, diperkenalkan oleh Adam Ferguson seorang filsuf Skotlandia dengan bukunya yang dia tulis An Essay on the History of Civil society (1773). Namun yang memulai melengkapi analisisnya pada kelompok-kelompok masyarakat yang mengantarkan kepentingan rakyat kepada para pengambil kebijakan baru pada abad ke–20 yakni Alexis de Tocquaville dengan bukunya Democracy in America (1969). “Bapak” civil society Indonesia – AS Hikam yang menulis desertasinya dengan judul: “Negara, Politik Masyarakat dan Madani, dalam Pergerakan Sosialnya dibawah Orde Baru” Pada tahun 1995 dalam mendevinisikan civil society juga merujuk pada pemikiran Tocquaville. Yakni  wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (1996).

Fungsi civil society dalam hubungannya dengan negara ekstrimnya ada dua madzhab besar yang berbeda. Yang satu sebagai komplementer negara, yang satunya berposisi diametral dengan negara atau sebagai tandingan negara (counterbalancing the state/ countervailing forces).  Hikam menambahkan fungsi subtitutor yang lebih dekat dengan fungsi komplementer yakni kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dalam ranah kiprahnya, prototipe civil society juga disebut-sebut berada di dua ranah yang berbeda yakni di ranah budaya (horisontal) yang lebih menekankan pada keberadaban (civility) dan persaudaraan (fraternity) dan ranah politik (vertikal) yang lebih menekankan pada kekuatan tandingan (counter of hegemony).

Trend terahir sebagaimana pertemuan akbar para pegiat anti globalisasi dunia yang melibatkan lebih dari 100 ribu pegiat dari seluruh dunia di India, tampak meningkat dengan tajam suatu kesadaran baru bersolidaritas bersama untuk membangun global society melawan state hegemony yang berwatak kapitalistik. Cara pandang yang lebih realistis tentunya semestinya diarahkan pada terwujudnya keberdayaan rakyat, terpenuhinya kebutuhan strategis dan pragmatis rakyat, terwujudnya hak akses dan kontrol rakyat terhadap sumberdaya yang ada melalui berbagai ranah, cara  dan fungsi baik itu fungsi komplementer, subtitutor, atau bahkan diametral sesuai dengan konteks ruang dan waktu.

Mengenai keterlibatan civil society dalam “pembangunan”ada salah satu thesis yang sedang marak diagendakan oleh kalangan pegiat pemberdayaan civil society adalah membangun strategi penguatan resistensi bangsa dengan meng-sinergikan seluruh sektor yang ada baik itu sektor state, private, dan public. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan good governance, good coorporate, dan good civil society. Terlebih pada momentum trend desentralisasi yang terus bergulir ini. Mutlak diperlukan adalah semangat kebersamaan dari seluruh sektor untuk membangun dan mengembangkan agenda bersama dalam rangka perwujudan Local good governance, Local good coorporate, dan Local good civil society.